10/30/2012

1 Barton Fink (1991)


Sutradara: Joel Coen dan Ethan Coen
Pemain: John Turturo, John Goodman, Michael Lerner, Judy Davis, Jon Polito


Ketika mendengar film tentang kebuntuan seorang penulis, bayangan saya langsung tertuju pada salah satu karya agung Federico Fellini, 8 ½. Dan memang betul, dalam banyak hal Barton Fink memiliki hubungan pararel dengan masterpiece Fellini tersebut. Keduanya menyangkut kebuntuan berkarya, kedua tokohnya terkait dengan dunia film, keduanya sama-sama surealis, meski nuansa tersebut lebih kental dalam 8 ½.

Barton Fink adalah sebuah film ambisius karya dua bersaudara, Joel dan Ethan Coen – salah satu dari sedikit sutradara Hollywood yang sampai saat ini belum pernah mengecewakan saya. Film ini bisa dibaca sebagai satir perfilman Hollywood, sebagai petualangan alam kesadaran seorang penulis dan pergulatan idenya, sebagai gambaran oposisi antara seni tingkat tinggi (Broadway) dengan seni kacangan (Hollywood), maupun sebagai tafsiran modern dari tragedi Faustian.

Barton Fink (John Turturo), seorang penulis sandiwara proletarian, menghadapi dilema setelah sebuah sandiwaranya yang tampil di Broadway menuai sukses besar. Dia ditawari untuk bekerja di industri film Hollywood, yang tentu saja menawarkan kemewahan dan kenyamanan hidup. Tetapi dia tahu konsekuensi dari tawaran itu bertentangan dengan idealisme kirinya tentang penciptaan teater ‘dari, oleh dan untuk orang-orang biasa’. Pada tahun-tahun sebelum dan sesudah Perang Dunia II, pencitraan Hollywood sebagai ‘tempat menjual jiwa’ lazim ditemui di kalangan penulis. Sebagai contoh pandangan Holden Caulfield tentang kakaknya yang dianggap sedang melacurkan dirinya di Hollywood dalam novel J. D. Salinger yang fenomenal, The Catcher in the Rye. Meskipun hal itu bertentangan dengan idealismenya, Barton menerima tawaran itu dan mencoba untuk mendamaikan pikirannya dengan cara memilih menginap di Hotel Earle yang kumuh dan ‘kurang bernuansa Hollywood’.

Dengan masih berbekal gagasan-gagasannya yang naif, Barton mencoba, meskipun pada akhirnya gagal, menyelam kedalam dunia hingar bingar Hollywood. Dia bertemu beberapa karakter yang bisa jadi merepresentasikan kehidupan perfilman pada masa itu. Bos Capitol Pictures Jack Lipnick (Michael Lerner), seorang bedebah yang akan menjilat kaki siapapun yang bisa menghasilkan uang banyak bagi perusahaan filmnya. Lou Breeze (Jon Polito), seorang cecunguk yang hanya bisa menyetujui pernyataan atasannya. W. P Mayhew (John Mahoney), yang mengingatkan pada sosok William Faulkner sebatas tampilannya saja, seorang penulis pemabuk yang, setelah pindah ke Hollywood, tak bisa menulis lagi. Audrey Taylor (Judy Davis), sekretaris pribadi Mayhew merangkap teman tidurnya. Darinya Barton mengetahui rahasia tergelap Mayhew. Dan diatas semuanya, Charlie Meadows (John Goodman) yang merupakan tetangga kamarnya di Earle.

Charlie si sales asuransi adalah subjek dari gagasan Barton, orang-orang biasa. Kisah hidupnya sebetulnya bisa jadi sumber inspirasi bagi Barton yang sedang mengalami kebuntuan menulis. Tapi disinilah ironinya. Meskipun Barton mengakui bahwa kehidupan yang dijalani Charlie adalah ‘teater sesungguhnya’, dia mengabaikannya. Barton seolah tinggal di menara gading gagasan sendirinya dan secara tak sadar menolak untuk ambil bagian dari kehidupan orang biasa. Alih-alih mendengarkan ceritanya, Barton justru mengambil jarak dari subjek gagasannya dan sibuk bermasturbasi dengan pikirannya sendiri.

Hotel Earle yang rongsokan – kertas pelapis dindingnya yang terkelupas, pajangan pohon pisang yang setengah membusuk, gema bel yang tak berkesudahan, operator lift yang sepertinya berumur lebih tua daripada Methuselah – merupakan tempat terbuang atau bisa jadi malah neraka itu sendiri. Inilah ruang isolasi bagi Barton, baik dari pengaruh Hollywood maupun dari realitas kehidupan itu sendiri. Satu-satunya yang menarik perhatian Barton di kamarnya adalah sebuah lukisan yang memperlihatkan sesosok perempuan yang sedang berjemur di pantai. Dan ketika gambaran itu direplika di akhir film, mau tak mau penonton pun digiring untuk mempertanyakan batas antara realitas dan imajinasi.

Coen bersaudara, Joel yang lulusan New York University jurusan film dan Ethan yang sarjana filsafat dari Princeton, mampu menampilkan lapis-lapis gagasan yang padat dengan cerita yang mengalir dalam film ini. Selain itu akting Turturo dan Goodman – karakter Charlie memang diciptakan untuknya karena pembawaannya yang bersahabat – juga tak kalah bagusnya. Tak heran jika dalam perhelatan Cannes Film Festival 1991 film ini mendapatkan Palm d’Or.
YEW9HQATWCJ5

10/29/2012

2 Head-On (2004)


Judul asli: Gegen die Wand
Sutradara: Fatih Akin
Pemain: Birol Unel, Sibel Kekilli, Cem Akin, Catrin Striebeck

Ini adalah kisah cinta. Dalam film kategori semacam ini, kisahnya selalu sama: dua sosok manusia bertemu, mereka saling tertarik, ada ujian yang memisahkan mereka, dan pada akhirnya mereka bersatu, untuk selamanya atau hanya sekejap saja. Head-On memasukkan semua unsur tersebut, tetapi dengan cara aneh, unik dan menyesakkan. “Kita hanya dapat mencintai dan dicintai hanya dalam kesedihan,” begitulah anggapan Dostoyevsky tentang cinta, yang sepertinya tepat sekali diterapkan dalam film ini.

Head-On dibuka dengan adegan yang mencolok mata. Sesosok karakter yang tampilannya acak-acakan, mabuk-mabukan dan berkelahi dengan orang lain kemudian mengemudi gila-gilaan dan menghantamkan mobilnya ke sebidang tembok. Untungnya, atau justru malangnya, tokoh itu tidak mati. Dialah Cahit (Birol Unel), tokoh utama film ini, yang akibat perbuatannya itu membuatnya harus dirawat di klinik terapi kejiwaan. Di klinik itu juga dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang usianya jauh dibawahnya, namanya Sibel (Sibel Kekilli).

“Apakah kamu orang Turki? Maukah kamu menikahiku?” Jika dalam keadaan normal – dua orang yang telah lama memadu kasih, pertanyaan itu akan terasa biasa meskipun efeknya bisa jadi luar biasa. Tapi dalam kasus Cahit, pertanyaan Sibel itu sangat mengejutkan, tidak saja karena mereka baru pertama kali bertemu, tetapi juga karena mereka berdua sedang menjalani perawatan akibat usaha bunuh diri yang gagal. Sosok Cahit yang destruktif dianggap sebagai penyelamat bagi Sibel yang merasa terkekang dengan keluarganya yang konservatif, semata-mata karena dia seorang imigran Turki di Jerman.

Mereka berdua sama-sama berdarah Turki, sama-sama putus asa dengan hidup mereka, namun mereka akhirnya menikah. Keduanya bukan pasangan ideal dan pernikahan itu sendiri jauh dari ideal. Mereka tinggal satu atap tapi menjalani kehidupan pribadi, termasuk seks, sendiri-sendiri, hal yang memang disepakati bersama sejak awal. Cahit memenuhi kebutuhan seksnya dengan seorang penata rambut (Catrin Striebeck) sedangkan Sibel dengan beberapa lelaki yang ditemuinya di klub malam. Meskipun begitu, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Cahit membutuhkan Sibel semata hanya untuk merapikan kamarnya sementara Sibel membutuhkan Cahit untuk lepas dari kungkungan keluarganya. Jadi pernikahan itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana mereka untuk keluar dari permasalahannya masing-masing. Tak lebih dari itu. Akan tetapi, kita semua tahu kondisi-kondisi semacam itu akan mengarah kemana.

Setelah mengalami proses pemahaman diri yang singkat, mereka akhirnya benar-benar jatuh cinta, hanya untuk menemui jurang takdir yang akan memisahkan mereka. Sepertinya klise tapi itu bukan sebuah hal yang bisa dihindari. Cahit dipenjara karena membunuh orang yang melecehkan Sibel. Sibel sendiri harus lari ke Istanbul karena dia dibuang keluarganya yang merasa reputasinya rusak setelah kasus itu terungkap di media massa.

Pada akhirnya, Cahit menyusul Sibel setelah dia keluar dari penjara. Mereka bertemu, akan tetapi sesuatu telah terjadi. Alih-alih mengakhirinya dengan memenuhi harapan penonton kebanyakan, yang menurut saya akan membuat film ini sama dengan film picisan serupa ala Hollywood, Fatih Akin memilih akhir yang lebih realistis dan logis, meskipun menyakitkan.

Seperti film-film Fatih Akin lainnya, misalnya The Edge of Heaven dan Im Juli, kehidupan imigran Turki di Jerman dan segala persoalannya menjadi tema yang dominan. Membahas kehidupan imigran tentunya perbedaan budaya menjadi sebuah hal yang tak bisa dihindari. Karakter Cahit, meskipun dia lahir di Turki, yang seperti kehilangan akarnya – bahasa Turkinya yang kacau balau, dan pikiran terbuka Sibel yang mendambakan kehidupan bebas sebagai bentuk perlawanan terhadap keluarganya merupakan penggalan-penggalan dari persoalan identitas individu dan relasinya dengan kehidupan masyarakat yang punya budaya berbeda. Sebagai sepasang imigran yang tinggal di Jerman, keduanya berjuang dan tersudut dalam situasi yang tak menyenangkan. Perjalanan ke Istanbul, yang juga lazim ditemui dalam film-film Fatih Akin yang lain, hanyalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk keluar dari kekusutan itu. Sekali lagi Fatih Akin, yang tak pernah menyangkal akar Turki-nya, menempatkan Istanbul sebagai surga penyelamatan.

Melihat Head-On mengingatkan saya pada karakter Ka dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Bukan semata-mata karena kesejajaran tokoh Ka dengan Cahit, yang sama-sama imigran Turki di Jerman yang melakukan perjalanan ke Turki demi mengejar cintanya, tapi juga karena keserupaan temanya. Dalam Snow, dan juga karya Pamuk lainnya, karakter-karakternya selalu ditempatkan dalam kegamangan identitas dan ambiguitas budaya yang diakibatkan oleh pertentangan kebudayaan Barat dan Timur. Sebuah masalah yang sepertinya disematkan sejak lahir kepada setiap orang Turki modern, buah dari westernisasi, modernisasi dan sekularisasi yang diusung oleh Kemal Ataturk. Bagi saya, melihat film-film Fatih Akin seperti membaca novel-novel Orhan Pamuk dengan perspektif dan media yang berbeda.

0 4 Months, 3 Weeks and 2 Days (2007)


Judul asli: 4 Luni, 3 Saptamani si 2 Zile
Sutradara: Cristian Mungiu
Pemain: Anamaria Marinca, Laura Vasiliu, Vlad Ivanov

Berlatar belakang di Rumania pada tahun-tahun akhir kekuasaan rezim Nicolae Ceaucescu, film ini mampu merefleksikan dengan baik kehidupan masyarakat Rumania dengan berbagai persoalannya. Bercerita tentang Otilia, seorang mahasiswi yang berusaha membantu teman sekamarnya, Gabita, untuk melakukan aborsi, yang pada saat itu merupakan perbuatan ilegal.

Otilia disini merupakan karakter yang merepresentasikan orang Rumania kebanyakan yang hidup dibawah tekanan pemerintahan otoriter. Dia mengatasi kebuntuan dengan jalan alternatif meskipun itu harus mengorbankan dirinya sendiri, membantu orang lain meskipun dia sendiri punya masalah – dengan kekasihnya yang posesif dan keluarganya. Gabita sebaliknya, dia tak punya inisiatif, sebuah hal yang, di tempat dimana ‘yang di atas menentukan segalanya,’ pasti akan meremukkannya. Ok, dia hamil, lalu membuat sebuah keputusan antara hidup dan mati. Sebatas itu. Sisanya dia serahkan pada Otilia. Segalanya.

Otilia mengumpulkan uang, membeli semua kebutuhan di pasar gelap, menyewa kamar hotel, menemui ahli aborsi, Bebe, yang curiga bahwa dirinya sedang dijebak, sampai membujuknya dengan tubuhnya karena Gabita berbohong mengenai usia kehamilannya. Tragedi sesungguhnya ada disini, dua perempuan muda yang ketakutan berhadapan dengan seorang lelaki yang oportunis. Sangat putus asa. Sangat memilukan.

Ditengah-tengah itu dia harus menjalani ujian kesetiaan yang diajukan Adi, kekasihnya - dia harus datang ke acara ulang tahun ibunya. Meskipun terlambat dia berhasil datang, hanya untuk duduk diam dan dilecehkan oleh orang tua Adi dan kawan-kawannya. Adegan diakhiri dengan Otilia dan Gabita saling berhadapan di meja makan. Mereka sepakat untuk tidak menyinggung lagi kejadian ini. Penyelesaian yang sublim ditambah tak adanya soundtrack sepanjang film ini membuat nuansanya semakin kelam.

Tragedi mencengangkan ini terekam dengan baik dalam sinematografi minimalis dari Cristian Mungiu. Film kedua Mungiu ini menjadi bukti kebangkitan sinema realis Rumania yang menonjolkan aspek ide dan cerita dibandingkan dengan grafis menawan semata. Bagi yang terbiasa melihat ‘film sebatas rekreasi visual’ saja, kemungkinan besar akan merasa bosan dengan film ini. Jangan pula mengharapkan adegan-adegan dahsyat yang membuat jantung berdebar-debar atau semacam itu. Cerita yang mengalir datar didapatkan dari kamera yang mengikuti gerak dan ekspresi tokohnya, serta relasi yang terjalin antar tokohnya, membuat penonton seolah-olah terbawa masuk dalam alam kesadaran tokohnya, merasakan apa yang dirasakannya. Inilah yang saya rasakan ketika Otilia duduk diam di ruang makan Adi, mendengarkan - setengah bosan, setengah canggung – obrolan dan sindiran kawan-kawan keluarga Adi, sembari memikirkan bagaimana keadaan Gabita. Inilah kekuatan utama film ini.

Rumania pada tahun 1987 dibawah rezim Nicolae Ceausescu merupakan masa-masa yang sulit bagi warganya. Rezim Ceausescu dianggap, oleh beberapa kalangan, sebagai rezim paling brutal dan represif dibandingkan dengan negara-negara komunis lainnya. Pada saat itu, aborsi sama saja dengan menantang maut, baik melalui prosesnya yang ilegal maupun hukuman yang menantinya jika ketahuan oleh pemerintah. Buramnya cerita 4 Months, 3 Weeks and 2 Days merupakan kritik sosial yang tajam terhadap represi kekuasaan yang totaliter. Bersama dengan Lives of the Others dan Goodbye Lenin, film ini adalah suara memilukan dari masyarakat Eropa Timur menjelang keruntuhan komunisme.
 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates