11/05/2012

3 The Man Without a Past (2002)


Judul asli: Mies Vailla Menneisyytta
Sutradara: Aki Kaurismaki
Pemain: Markku Peltola, Kati Outinen

Bagaimana seseorang menjalani hidup tanpa ingatan tentang masa lalunya? Tema semacam itu sering kita jumpai dalam film-film misteri dan psychological thriller, yang biasanya mengedepankan pencarian identitas yang hilang dan merupakan kunci dari seluruh film tersebut. Tapi dalam drama romantis karya Aki Kaurismaki, The Man Without a Past, hilangnya ingatan justru dijadikan sebagai titik tolak untuk memulai hidup baru. Jangan salah sangka, meskipun permulaannya mengejutkan, film ini lebih bernuansa drama-komedi romantis dan sama sekali tak ada unsur misteri didalamnya.

Kisah dimulai ketika tokoh utamanya (Markku Peltola) tiba di Helsinki dan menjadi korban perampokan dan penganiayaan hingga dia nyaris mati. Meskipun sudah dinyatakan meninggal oleh dokter, entah bagaimana dia bangkit dan berjalan, tanpa arah, tujuan, maupun alasan tertentu. Terlebih lagi dia tak ingat siapa dan darimana asalnya. Dia sampai di pemukiman kaum gelandangan yang tinggal di kontainer bekas, dan disanalah kisahnya berlangsung. Dalam suasana yang serba terbatas, kita akan disuguhi perjuangan untuk menata hidup, empati yang terjalin antar sesama gelandangan, bagaimana sulitnya hidup di dunia modern ini tanpa sebuah identitas, dan diatas segalanya, sebuah kisah cinta yang unik. Lewat sosok Irma (Kati Outinen), seorang pekerja sosial yang membantu para gelandangan, dia tidak sekedar mendapatkan dorongan material dan spiritual untuk memulai hidupnya kembali, tetapi juga cinta yang, seingatnya, tak pernah didapatkannya.

Dalam pengambilan gambar yang nyaris statis, kita akan mendapatkan kisah yang mengalir dengan dialog yang minimalis dan terkesan humoris. Berkali-kali saya tersenyum mendengar percakapan antar tokohnya yang ringan namun mengena. Bagaimana deskripsi anjing yang galak itu tak seperti kenyataannya, atau jawaban tukang listrik saat ditanya berapa biaya pemasangan listriknya adalah bagian-bagian komikal dari film ini. Dan mencapai puncak humornya pada perdebatan hukum antara petugas polisi dengan seorang pengacara. Selain suguhan humor, ada juga nuansa tragis didalamnya. Seperti saat si tokoh hendak mencari kerja, tapi dia harus mengisi lamaran yang mengharuskannya mencantumkan nama dan seluruh identitasnya. Juga gambaran tentang bagaimana sikap orang-orang yang tak bisa mempercayai kenyataan bahwa dia kehilangan ingatannya. Lucu sekaligus trenyuh mendengarnya.

Wajah datar dan nyaris tanpa ekspresi yang diperlihatkan Markku Peltola sepanjang film benar-benar menggambarkan orang yang tak punya masa lalu. Kita tak pernah tahu apa perasaan yang bergejolak dibalik wajah seperti itu. Wajah itu tak pernah mengungkapkan kebahagiaan, jikalau ada, maupun kesedihan secara berlebihan. Tetapi entah bagaimana, saya melihat ada bayang-bayang sendu yang tak diinginkannya terbawa dari masa lalunya di wajah itu. Itulah kenapa, hilangnya ingatan tentang masa lalunya merupakan tonggak baginya untuk memulai hidup baru. Tanpa adanya kenangan yang mengikatnya, dia seperti terlahir kembali.

Pada akhirnya kita akan disuguhi panorama kehidupan manusia dengan berbagai persoalannya, bagaimana memposisikan diri dalam dunia yang asing, dan bagaimana memaknai kebahagiaan dalam bentuknya yang paling sederhana. The Man Without a Past bisa dikatakan sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh Aki Kaurismaki.

11/03/2012

16 No Country for Old Men (2007)


Sutradara: Joel Coen dan Ethan Coen
Pemain: Javier Bardem, Tommy Lee Jones, Josh Brolin


Kritikus film Roger Ebert suatu kali pernah berkata, ”Baik buruknya sebuah film bisa dilihat dari karakter tokoh jahatnya.” Meskipun banyak dari pilihan film yang dipujinya kurang sesuai dengan selera saya pribadi, mau tak mau saya menyetujui pernyataannya itu terkait dengan karya paling prestisius dari Coen bersaudara, No Country for Old Men. Melihat film ini tentunya tak bisa mengesampingkan karakter sosiopat berpotongan rambut lucu bernama Anton Chigurh. Dialah tokoh jahat sekaligus ‘roh’ film ini.

Berawal dari sebuah transaksi narkoba yang berjalan kacau, dimulailah perjalanan takdir yang menentukan nasib tiga tokoh utamanya. Llewelyn Moss (Josh Brolin), seorang veteran perang Vietnam, menemukan uang haram transaksi tersebut dan, seperti sudah menjadi naluri dasar setiap manusia yang dihadapkan pada pilihan yang terlihat menguntungkan, mengambilnya. Si pemilik uang kemudian mengirimkan Anton Chigurh (Javier Bardem) untuk mendapatkannya kembali. Menyadari sesuatu yang buruk sedang dan akan terjadi, seorang sheriff tua bernama Tom Bell (Tommy Lee Jones) melacak keduanya dengan harapan untuk menyelamatkan Moss dari ancaman Chigurh. Dan akhirnya kita disuguhi sebuah adegan perburuan yang unik. Mereka bertiga saling berhubungan, akan tetapi, kecuali adegan dimana Moss dan Chigurh saling baku tembak, ketiganya tak pernah berada dalam satu ruang, waktu dan frame secara bersamaan.

Kisah No Country for Old Men mengambil latar di daerah Texas tahun 1980-an. Membayangkan daerah barat Amerika, daerah yang menampilkan kesan seperti wilayah pinggiran yang terlupakan dari sebuah peradaban, yang gersang dan tandus, tak bisa dilepaskan dari nuansa kekerasan dan hukum alam dimana yang kuatlah yang bisa selamat. Bisa jadi karena itulah daerah barat Amerika menjadi sumber inspirasi film-film koboi, disana hukum dan keadilan disuarakan dengan moncong sebuah senapan.

Dalam film-film bergenre western, kita sering melihat pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, dimana biasanya kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. Meskipun film ini bisa dikategorikan dalam genre serupa, No Country for Old Men tidak terjerumus dalam stereotip semacam itu. Bahkan bisa dibilang karakternya tak bisa dilihat secara hitam putih, meskipun dari standar moral apapun, kita tahu siapa tangan kanan kejahatan di film ini. Tapi dimana orang baiknya?

Dilihat dari perspektif moral, agama, maupun hukum, Chigurh adalah orang jahat. Tapi meskipun dia seorang pembunuh, dia tak melakukannya dengan membabi buta. Dia punya prinsip. Bukan dia yang menentukan apakah orang yang ditemuinya itu dibunuh atau tidak, tapi takdir yang dipilih orang itu berdasarkan lemparan koin. Seorang pembunuh yang punya standar kode etiknya sendiri, membunuh tanpa belas kasih tapi tetap menjaga dirinya supaya tak ternodai darah korbannya. Dia adalah semacam representasi biblikal dari malaikat maut, kemanapun dia melangkah selalu membawa bayang-bayang kematian. Dan saat dia melanggar prinsip itu dengan membunuh istri Moss, dia mendapat hukumannya.

Karakter Moss sedikit membingungkan. Memang dia ambisius, keras kepala, dan tamak, tapi dia juga mencemaskan keselamatan istrinya. Dia juga sempat kembali ke tempat kejadian transaksi dengan membawa minuman, tapi itu hanya untuk sekedar mengobati rasa bersalahnya. Sebagai seorang alumni perang, dia mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Ketika menemukan mayat-mayat bergelimpangan, dia punya pilihan. Dengan berbekal rasa percaya diri bahwa dia bisa mengatasi resiko yang akan muncul, dia memutuskan untuk mencari uangnya. Pilihan yang mengubahnya dari seorang pemburu menjadi yang diburu.

Sebagai seorang sheriff, Tom Bell bukan karakter yang ideal. Alih-alih sebagai penegak hukum yang berkeinginan menangkap penjahat dengan sekuat tenaga, dia seolah terlihat tak mau berurusan langsung dengan Chigurh karena, seperti yang dia katakan di awal, “tak mau ambil bagian dari sesuatu yang tak dipahami.” Itulah yang membuatnya selalu tertinggal selangkah dibanding dengan Chigurh maupun Moss. Tom Bell adalah si Orang Tua dalam film ini. Dia mencoba mendefinisikan tempatnya di dunia yang tak lagi mampu dia pahami karakteristiknya. Tak seperti deputinya yang selalu waspada, dia berkali-kali terlihat memasuki tempat kejahatan berlangsung tanpa menyiapkan senjatanya karena dia merasa bahwa hal itu tak perlu. Di masanya, hal itu mungkin tak perlu. Tetapi ketika pada akhirnya dia menyadarinya, saat mendatangi lokasi terbunuhnya Moss, itu sudah terlambat. Ini bukan masanya lagi. Tak ada lagi tempat bagi orang tua dalam dunia yang brutal semacam itu.

Sekali lagi, Coen bersaudara mengangkat kembali tema yang sukses mereka sampaikan lewat Fargo kedalam film ini. Pesimisme dalam diri Tom Bell dan nihilisme yang dibawa Anton Chigurh diturunkan langsung dari novel Cormac McCarthy yang menjadi sumber film ini. Ditambah lagi kehendak bebas dan jalannya takdir menjadi bagian dominan di sepanjang film. Seperti yang terjadi pada Moss saat dia mendatangi lokasi transaksi obat bius. Dia punya pilihan yang harus dihadapi, dia menimbang konsekuensinya, dan memilih, sayangnya, yang terburuk. Dia sadar mengenai apa yang akan dihadapi dengan pilihannya itu, tetapi dia menganggap bisa mengatasi ancaman iblis yang ada di balik itu. Dia terbukti salah dengan anggapan itu. Menyangkut temanya, tak ada yang lebih jelas menggambarkannya dibandingkan dengan adegan-adegan awal ketika seorang deputi menangkap Chigurh. Dia menelepon atasannya dan mengatakan bahwa semuanya bisa dikendalikan. Tapi beberapa saat kemudian dia mati. Sesingkat itu. Keadaan yang terlihat bisa ditangani, ternyata berjalan di luar kendali.

Sebagian penonton No Country for Old Men ada yang pulang dengan membawa kekecewaan. Dua hal yang paling disorot adalah adegan penutup yang dianggap antiklimaks dan tak adanya pesan moral didalamnya. Saya mendengarnya sendiri ketika seorang teman bertanya pada saya apa yang bisa didapat dari menonton film ini. Saya menjawabnya, dengan setengah bercanda, bahwa jika dia menginginkan pesan moral dan sebagainya, pergi saja ke khotbah Jumat. Lewat film ini, Coen bersaudara sepertinya memang tak ingin menguliahi kita dengan pesan moral atau apalah, bahwa kejahatan itu buruk dan pada akhirnya kebaikan pasti menang dan sebagainya. Justru mereka mengajak kita sebagai penonton untuk berpikir bagaimana jika dunia yang dicitrakan dalam film itu masuk kedalam realitas kita sehari-hari. Kita melihat reaksi si Orang Tua terhadap keadaan itu. Bagaimana dengan kita? Apakah kita akan seperti Tom Bell? Atau sebaliknya? Atau apa? Itulah kenapa, menurut saya, alih-alih memberi jawaban akhir, adegan penutupnya memang sengaja dibiarkan mengambang karena mereka ingin kita berpikir. Pilihan itu ada pada kita.

11/01/2012

0 Shadowlands (1993)


Sutradara: Richard Attenborough
Pemain: Anthony Hopkins, Debra Winger

Shadowlands adalah sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata mengenai hubungan asmara C. S. ‘Jack’ Lewis, penulis Narnian Chronicles, dengan Joy Gresham, seorang penyair Amerika. Berlatar di Oxford, Inggris pada tahun 1950-an, film ini mengeksplorasi tema kesedihan dan kehilangan dengan sangat mendalam.

Selama bertahun-tahun, Jack (Anthony Hopkins) menjalani hidup dengan pola yang sama. Dia adalah seorang pengajar di Oxford dan seorang penulis yang hidup tenang bersama saudaranya. Berkat karyanya, Narnia dan beberapa buku tentang teologi, dia disegani oleh sesama kolega di Oxford dan menuai popularitas dari para pengagum di seluruh dunia. Namun semuanya berubah ketika dia bertemu seorang pengagum dari Amerika, Joy Gresham (Debra Winger).

Disinilah drama sesungguhnya berlangsung. Seorang perempuan Amerika yang ‘tidak cuma memiliki jiwa tetapi juga otak’ masuk kedalam lingkaran intelektual Oxford yang didominasi dan memuja kecemerlangan kaum pria. Akan tetapi gangguan ala Amerika itu bukan intinya. Perlahan-lahan, Jack yang kaku dan dingin – mengingatkan saya pada karakter James Stevens dalam Remains of the Day yang juga diperankan secara brilian oleh Hopkins – menaruh simpati pada Joy. Mereka kemudian menikah, pertama secara teknis, untuk membantu Joy memperoleh ijin tinggal di Inggris, dan yang kedua, setelah Joy menderita kanker dan Jack harus merawatnya, benar-benar menikah secara agama karena mereka berdua adalah penganut yang taat. Mereka saling mendalami perasaan kasih itu untuk sesaat, sebelum akhirnya Joy meninggal dunia. Di titik ini, Jack yang sering memberikan ceramah tentang cinta, kesedihan dan takdir manusia di tangan Tuhan, diuji oleh teorinya sendiri tentang apa itu kehilangan dan kesedihan.

Sebuah film yang diangkat berdasarkan kejadian nyata, apapun kejadian nyata itu, merupakan subjek yang akan diinterpretasi, dan juga mis-interpretasi, oleh para pengamat atau seseorang yang mengetahui kejadian itu, berdasarkan perspektifnya sendiri. Tafsiran akan kejadian nyata itu bisa menjadi perdebatan yang tak berkesudahan, apalagi jika menyangkut seorang figur terkenal seperti C. S. Lewis. Bagi pengagum Lewis, ketiadaan karakter J. R. R. Tolkien, sosok terkenal lain yang juga sahabatnya, merupakan dosa terbesar film ini. Itu seperti memfilmkan Don Quixote tanpa menyertakan Sancho Panza. Tak bisa dimaafkan, apapun apologinya.

Terlepas dari itu, menyajikan kisah kehidupan seorang sosok terkenal hanya dalam waktu sekitar 2 jam – rata-rata durasi film, merupakan hal yang sulit. Saya pribadi dapat memaklumi alasan Richard Attenborough yang hanya fokus pada aspek romansa antara Lewis dengan Gresham saja. Meskipun tak lengkap, hal itu menurut saya tak mengurangi kualitas film ini sebagai sebuah gambaran kehidupan tahap akhir dari seorang C. S. Lewis. Secara keseluruhan, Attenborough, yang sepertinya mengkhususkan dirinya pada pembuatan film biografi (Gandhi, misalnya), berhasil membuat film ini sangat menyentuh. Dialog yang kaya dan padat, serta penampilan mengagumkan dari Anthony Hopkins dan Debra Winger membuat film ini sangat layak untuk dinikmati.
 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates