12/13/2012

1 Tiga Film Tentang Perang Balkan

Perang Balkan (1991-1995) bisa jadi merupakan salah satu perang paling kompleks, membingungkan dan berdampak paling menghancurkan dalam sejarah perang modern setelah Perang Dunia II. Dari segi politis, perang ini memunculkan kesatuan-kesatuan politik baru yang dibangun dari reruntuhan negara Yugoslavia. Dari segi kemanusiaan, muncul istilah baru yang dampaknya setara dengan holocaust pada Perang Dunia II, yaitu pembersihan etnis. Bagi manusia-manusia pasifis yang terjebak dalam kondisi carut-marut tersebut, perang ini merupakan sebuah kejadian yang absurd. Begitulah setidaknya yang saya tangkap dari film-film tentang Perang Balkan karya sineas negeri itu; Underground (1995) karya Emir Kusturica, Pretty Village Pretty Flame (1996) karya Srdjan Dragojevic, dan No Man’s Land (2001) karya Denis Tanovic.

“Pada suatu masa, ada sebuah negara, dan ibukotanya adalah Belgrade.” Begitulah narasi awal Kusturica untuk membawa kita menuju kisah penghancuran diri sebuah negara oleh orang-orang negara itu sendiri. Menelusuri jejak Yugoslavia selama kurang lebih lima puluh tahun, kita akan mendapati bagaimana reaksi penduduknya menanggapi peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di sekitar mereka serta bagaimana mereka berjuang untuk kejayaan negara itu dan, ironisnya, kemudian menghancurkannya dengan tangan-tangan mereka sendiri.

Underground mengikuti perjalanan sepasang sahabat, Blacky dan Marko, mulai dari invasi Reich-nya Hittler, era perang dingin, sampai perang saudara pada awal dekade 1990-an. Film yang dibawakan dalam nuansa humor surealis ini menyorot sepak terjang masing-masing karakter dan bagaimana mereka berinteraksi dengan keadaan sekitar. Blacky yang idealis dan romantis, tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus tunduk pada kekuasaan asing. Dia berjuang dengan berbagai cara untuk memastikan bahwa kedaulatan negaranya tetap terjaga. Pada sebuah kesempatan, dia sangat tersudut sehingga memaksanya mengungsi ke bawah tanah. Hal ini berbanding terbalik dengan Marko yang lebih dinamis dan oportunis, meskipun keduanya sama-sama berjuang untuk tanah airnya. Kemudian sampailah pada adegan yang absurd, Marko mengelabui Blacky agar tetap tinggal di bawah tanah dengan alasan perang masih berlangsung. Padahal sebenarnya perang sudah lama usai, dan Marko, yang kini menempati posisi penting dalam birokrasi Yugoslavia dibawah pemerintahan Tito, memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Tinggalnya Blacky di bawah tanah ini semacam simbol pengawetan idealisme dalam diri Blacky yang tak terkontaminasi oleh pengaruh luar. Dan ketika Blacky keluar, kita melihat bagaimana ketidakmampuan untuk menafsirkan keadaan bisa berakibat sangat fatal.

Menempatkan dua sosok individu dalam situasi perang, yang awalnya bersahabat kemudian saling beroposisi, bukanlah tema baru, bahkan sangat lazim digunakan untuk menggambarkan absurditas dari perang dalam mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan, dalam hal ini hubungan antar individu yang tersisihkan oleh apa yang disebut nasionalisme, patriotisme, dan sebagainya. Kusturica mengakhiri filmnya dengan narasi “tak ada yang namanya perang sampai seseorang membunuh saudaranya sendiri.” Dan dalam Pretty Village Pretty Flame, Srdjan Dragojevic mencoba menekankan dampak perang ini melalui tokoh Milan dan Halil.


 
Milan yang seorang Serbia dan Halil yang seorang muslim Bosnia merupakan sahabat semasa kecil. Di dekat desa mereka terdapat terowongan yang menurut dongeng lokal merupakan tempat tinggal monster yang jika dibangunkan akan “memangsa orang-orang desa dan membakar rumahnya.” Ketika mereka berdua memberanikan diri untuk melihat ke dalam terowongan tersebut, mereka menemukan tumpukan mayat dan juga, yang mengejutkan, mayat mereka sendiri. Ini semacam tanda bahwa, entah bagaimana caranya, mereka akan selalu memiliki keterikatan dengan terowongan itu. Dan memang itulah yang terjadi, setelah dewasa keduanya bertemu kembali di terowongan tersebut, kali ini berada di kubu yang saling berlawanan. Milan merupakan bagian dari pasukan milisi Serbia yang bertugas menghancurkan desa-desa orang Bosnia. Suatu malam mereka disergap oleh pasukan Bosnia yang membuat kesatuan Milan tersudut dan berlindung di dalam terowongan. Halil ada di dalam kesatuan pasukan Bosnia yang mengepung Milan dan rekan-rekannya. Dan kisahnya berlanjut dengan serangkaian kilas balik yang mengulas latar belakang masing-masing tokoh yang terjebak di dalam terowongan itu.
Meskipun film ini bisa dibilang berhasil dengan baik menggambarkan konflik Balkan setidaknya dari sisi Serbia, banyak kritik menyebutnya sebagai penyangkalan Serbia atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Perang Balkan. Dan dalam beberapa tingkat, saya sendiri menilai ada beberapa poin yang disampaikan secara tidak berimbang. Karakter Milan, entah sengaja atau tidak, seolah-olah digambarkan sebagai pahlawan yang tak berdaya, dan tindakannya semata karena dorongan naluriah yang muncul dari kekacauan perang. Di sisi lain, pihak Bosnia tak mendapat porsi yang cukup dan hanya digambarkan sisi brutalnya saja. Setidaknya, hal inilah yang mendasari Denis Tanovic untuk menggambarkan situasi perang dengan lebih berimbang dalam No Man’s Land.


No Man’s Land membawa absurditas perang dalam bentuknya yang paling personal: interaksi dua individu berlawanan yang terperangkap di tanah tak bertuan. Terkadang lucu, tapi lebih kental nuansa ironinya. Itulah yang terjadi antara Ciki, seorang milisi Bosnia, dengan Nino, seorang prajurit Serbia. Di tengah penantiannya, yang terkesan sia-sia, mereka berdebat tentang siapa yang memulai perang dan menghancurkan negeri yang indah itu. Jika dalam keadaan normal, bisa jadi mereka akan berteman, saling mengirimi kartu ucapan selamat tahun baru, dan hal-hal yang biasa dijalani oleh dua sosok manusia yang tak terlibat perang. Tapi pada kenyataannya, buat apa berkenalan jika ke depannya mereka akan saling membidikkan senapan. Meskipun di masa lalu mereka pernah mengencani perempuan yang sama, kini mereka harus saling membunuh untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Selain itu Tanovic juga mengkritisi entitas PBB dan keterlibatannya dalam konflik Balkan. Kita melihat bagaimana pasukan perdamaian PBB yang, dengan kapasitas dan dukungannya, seharusnya bisa menghentikan perang sia-sia ini, justru lebih memilih bersikap pasif dan menjadi pengamat saja. Bagaimana tragedi kemanusiaan ini bisa dengan mudahnya disingkirkan oleh omong kosong birokratis dan dagelan politik tingkat tinggi jika menyangkut orang-orang tak dikenal. Sungguh aneh sekaligus ironis bagaimana posisi manusia dilihat dari kacamata politis ini.

Dampak konflik Balkan bagi penduduk di wilayah itu sangat menghancurkan, baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Adegan penutup dari Underground, ketika masing-masing tokoh berkumpul dan berpesta di sebuah tanah yang perlahan memisahkan diri dari daratan utama, bisa jadi melambangkan keinginan penduduk setempat untuk tak lagi mengalami mimpi buruk itu dan hidup berdampingan dengan damai.
 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates