7/04/2013

4 Memories of Underdevelopment (1968)


Judul asli: Memorias del Subdesarrollo
Sutradara: Tomas Gutierrez Alea
Pemain: Sergio Corrieri, Daisy Granados

Fidel Castro, Insiden Teluk Babi, dan ancaman perang nuklir. Bisa jadi tiga hal itulah yang paling sering dibicarakan orang jika menyangkut Kuba, sekaligus menempatkan negara kecil di Laut Karibia itu dalam sorotan dunia. Dekade 1960-an adalah masa paling bergolak dalam sejarah Kuba, dan dalam konteks lebih luas, Perang Dingin antara Soviet dan Amerika Serikat. Revolusi Kuba dan naiknya Fidel Castro merupakan ancaman serius terhadap kepentingan Amerika, yang sebelumnya menjalin hubungan erat dengan rezim Batista. Hubungan itu semakin memanas ketika sekelompok gerilyawan anti Castro yang disinyalir mendapat dukungan dari pemerintahan Kennedy mendarat di Teluk Babi dan semakin meruncing saat Nikita Kruschev mengirimkan misil-misil berhulu ledak nuklir ke Kuba. Pada titik itu, dunia berada di ambang perang nuklir, dan Kuba adalah pemegang kuncinya.

Sejarah mengatakan seperti itu. Akan tetapi diluar hiruk pikuk politik dan bayangan apokaliptik yang akan terjadi, hanya sedikit yang diketahui seperti apa sebenarnya keadaan di Kuba saat itu dan bagaimana kondisi individu-individu yang terperangkap dalam situasi semacam itu. Tomas Gutierrez Alea menyadari penuh hal itu dan lewat Memories of Underdevelopment mencoba menggambarkan keadaan bergejolak itu melalui perspektif orang Kuba sendiri.

Adalah seorang pria dari kelas borjuis, Sergio, yang setelah ditinggal oleh keluarga dan teman-temannya kabur ke Miami, mencoba mendefinisikan tempatnya di tengah komunitas yang berubah. Bimbang, sendirian dan bosan, dia mencerna kembali hubungannya dengan (mantan) istrinya, teman-temannya, dan terutama dengan Elena, seorang gadis belia yang menjadi kekasihnya. Namun Sergio seolah tak mendapati perubahan itu. Kotanya, orang-orangnya, budayanya, semuanya masih tampak sama bagi dirinya.

Meski terselubung, tak sulit untuk menarik garis kesamaan antara kehidupan Sergio dengan keadaan Kuba. Kondisi psikologis seorang individu bisa menjadi cerminan kondisi masyarakatnya (negara). Dua-duanya berada dalam titik kritis, tetapi alih-alih mendapatkan perubahan, keduanya sama-sama stagnan dan tak berkembang. Sergio gagal mengubah Elena menjadi sosok yang sesuai dengan konsep ideal yang ada di kepalanya, sama halnya dengan revolusi yang tak menghasilkan pencerahan dan justru mendorong pada penghancuran diri sendiri. Pada akhirnya Sergio tersandung masalah ketika ingin meninggalkan Elena. Kecewa oleh sebab ketidakmampuannya untuk mengubah keadaan dan menjalin koneksi dengan masyarakat sekitarnya, membuat Sergio menarik diri. Sebuah mekanisme pertahanan diri karena merasa asing dengan sekitarnya. Aku bisa hidup seperti ini selama berpuluh-puluh tahun lagi, kata Sergio, wujud dari penolakannya untuk terlibat dalam realitas. Di kemudian waktu, itulah yang akan dialami oleh Kuba, isolasi dari dunia di sekelilingnya.

Seperti The Mirror-nya Tarkovsky, inti dari Memories of Underdevelopment adalah hubungan antara pikiran seorang individu yang merepresentasikan keadaan di dunia luar, dalam hal ini, sebuah entitas politik bernama negara. Kesadaran dan pikiran individu adalah juga kesadaran dan pikiran kolektif. Namun tidak seperti Tarkovsky yang sepertinya ingin mengobrak-abrik pikiran penontonnya dengan narasi arus kesadaran yang membutuhkan pembacaan mendalam, Alea menarasikannya dengan halus, disertai cuplikan-cuplikan dokumenter dan foto yang terekam pada masa itu yang membuat film ini sangat ‘kaya’ dan inovatif.

5/10/2013

4 Enter the Void (2009)


Sutradara: Gaspar Noe
Pemain: Nathaniel Brown, Paz de la Huerta, Cyril Roy

Setelah berhasil membuat syok para penikmat film melalui kekerasan yang ekstrim dan adegan pemerkosaan yang berlangsung sangat lama yang menjadi sajian utama dalam Irreversible, sepertinya belum cukup memuaskan ambisi Gaspar Noe. Dia sepertinya ingin melanjutkan hentakan mengejutkan itu lewat Enter the Void, sebuah karya ambisius yang berusaha menerobos batas film sebagai medium bagi kreatifitas: menyajikan film sebagai sebuah pengalaman visual yang tak terlupakan. Begitulah. Dengan pengambilan gambar yang seolah ingin menempatkan penonton dalam posisi seorang pecandu dan pengedar narkoba bernama Oscar, Enter the Void mencoba mengantar penonton – melalui distorsi ruang dan waktu, gemerlap permainan cahaya, persepsi dan halusinasi – mengarungi sebuah pengalaman yang berakar dari pertanyaan menggelitik tentang eksistensi manusia: seperti apakah keadaan paska kematian itu?

Meskipun terdapat poin-poin yang bisa membuat film terkesan menarik setidaknya dari segi aksi (pengedar narkoba, penari telanjang, bar mesum) jangan terlalu berharap pada ceritanya karena pada kenyataannya sangatlah sederhana. Oscar (Nathaniel Brown), seorang pecandu dan pengedar kelas teri, bersama adiknya Linda, seorang penari telanjang, tinggal dalam gemerlapnya dunia malam di Tokyo. Sebuah transaksi narkoba tak berlangsung lancar dan menyebabkan Oscar tertembak.

Ada ungkapan yang menyebut bahwa sesaat sebelum ajal menjemput, perjalanan hidup seseorang melintas dihadapannya. Setelah penembakan itu, sudut pandang kamera yang mewakili persepsi Oscar, dan juga penonton, berjalan-jalan tanpa mengenal batas ruang dan waktu, menyusuri jejak masa kecilnya, baik yang menyenangkan maupun yang traumatis, menelaah kejadian-kejadian sebelum terjadinya transaksi yang berakhir tragis dan melihat peristiwa yang terjadi setelah dirinya tertembak. Kurang jelas apakah rohnya yang melayang atau semua yang terjadi hanyalah bentukan dari pikirannya. Apapun itu, ini seperti perjalanan spiritual dari jiwa tanpa tubuh yang bisa jadi merupakan eksplorasi dari keadaan seseorang paska kematian. Dan ketika kamera menempatkan diri dalam sudut pandang roh Oscar (atau sesuatu semacam itu), kerja kamera benar-benar dimaksimalkan oleh Gaspar Noe. Mengambil sudut pandang seperti burung yang terbang melintasi kota dengan cepat, kemudian menerobos kabin pesawat, masuk ke dalam vagina seseorang yang sedang melakukan coitus, bahkan menerobos ke dalam pikiran seseorang. Sama sekali tak ada yang menghambatnya.

Berurusan dengan tema yang pelik tidak menjadikan Enter the Void dalam diskursus yang rumit, apalagi Noe menekankan film ini lebih ke aspek visualnya, terbukti dengan dialognya yang dangkal dan nyaris tak berisi. Durasinya yang lama dan banyaknya adegan-adegan yang bersifat repetitif, boleh jadi akan membuat penontonnya merasa lelah dan bosan. Perkecualian mungkin adegan kecelakaan yang diulang beberapa kali sehingga memunculkan kesan traumatis yang mendalam pada karakter tokohnya. Akting Paz de la Huerta yang monoton, jika tak mau dibilang sangat kurang meyakinkan, dan sepertinya hanya bersandar pada pakaiannya yang selalu kekurangan bahan, menjadi titik lemah bagi film ini. Meskipun begitu, usaha sang sutradara untuk selalu menyajikan pengalaman yang unik, kreatif dan berbeda dari yang lain, layak untuk diapresiasi. Seperti Irreversible, film ini juga akan menghasilkan opini penonton yang terbelah. Di satu sisi akan ada yang menyukainya setengah mati, di sisi lain akan ada yang merasakan kebosanan akut sampai-sampai dia berharap lebih baik mati saja daripada menyelesaikan menonton Enter the Void.

3/29/2013

0 Tales from the Golden Age (2009)


Judul asli: Amintiri din epoca de aur
Sutradara: Cristian Mungiu, Hanno Hofer, Constantine Popescu, Ioana Uricaru, Razvan Marculescu
Pemain: Alexandru Potocean, Avram Birau, Vlad Ivanov, Ion Sapdaru, Diana Cavallioti

Seekor babi meledak ketika hendak dimasak, pemalsuan foto yang gagal, dua remaja mengaku sebagai pegawai penguji polusi udara untuk mendapatkan botol bekas, seorang aktivis naif yang mencoba memberantas buta aksara, beberapa sketsa itu adalah bagian dari sebuah omnibus tentang keadaan masyarakat Rumania selama 15 tahun terakhir dalam cengkeraman rezim Nicola Ceausescu, yang oleh otoritas disebut sebagai era keemasan. Tales from the Golden Age merupakan rangkuman mitos-mitos urban yang diolah Cristian Mungiu bersama empat sutradara lain dan dikemas dalam bentuk komedi gelap. Film ini sedikit banyak mengikuti tema film Mungiu pemenang Palm d’Or 2007, 4 Months 3 Weeks and 2 Days, dengan mengedepankan absurditas kehidupan masyarakat dibawah pemerintahan otoriter.

Ada enam kisah, masing-masing disebut dengan istilah “legenda,” yang semua skenarionya ditulis oleh Mungiu: Legenda Kunjungan Resmi, Legenda Fotografer Partai, Legenda Seorang Aktivis Tekun (di sebagian rilis tidak dimasukkan), Legenda Polisi Tamak, Legenda Penjual Udara, dan Legenda Sopir Truk Ayam. Empat kisah pertama dikenal juga dengan Tales of Authority, sedang 2 yang terakhir sebagai Tales of Love.

Seperti tersirat dalam sub judulnya, empat kisah pertama yang durasinya lebih pendek, menitikberatkan pada bagaimana bentuk represi totalitarian itu masuk dan mempengaruhi tingkah laku masyarakatnya. Dalam bentuknya yang paling ekstrim dijumpai pada “Legenda Kunjungan Resmi.” Sebuah desa tengah mempersiapkan kunjungan tamu internasional dari berbagai negara. Dalam satu komando dari pusat, mereka memoles tampilan luar sedemikian rupa sampai ke rincian terkecil – burung merpati yang harus berwarna putih, arak-arakan domba dan bukan sapi (karena ada delegasi dari India), warna dari hiasan. Semua itu dilakukan semata demi pencitraan. Pencitraan dilakukan tak hanya untuk mengesankan dunia internasional, tetapi juga dilakukan terhadap masyarakatnya sendiri, seperti yang terlihat dalam “Legenda Fotografer Partai.” Namun sebuah kesalahan dalam memalsukan foto Ceausescu diikuti usaha untuk melestarikan pencitraan justru mengakibatkan munculnya mitos baru: untuk pertama kalinya surat kabar partai tak diterbitkan pada hari itu. Ironisnya, semua pencitraan itu dilakukan untuk menutupi kebohongan. Dalam realitasnya, bahkan untuk sekedar mendapatkan barang kebutuhan pokok – daging babi untuk menyambut Natal dan telur untuk Paskah – sangat sulit. Dan ketika seorang polisi mendapat kiriman babi hidup menjelang Natal, hal itu bukannya berkah tapi justru menjadi musibah.

Meskipun mampu mendeskripsikan dengan jernih bentuk represi dan paranoia yang terjadi di masyarakat, durasi pendek dari empat kisah anekdot tersebut membuat eksplorasi temanya menjadi kurang mendalam, dibandingkan dua kisah Tales of Love yang lebih sublim, terutama “Legenda Sopir Truk Ayam.” Kisah yang terakhir ini sepertinya bisa mewakili keseluruhan antologi ini. Bagaimana aturan sekecil apapun, apabila dilanggar, konsekuensinya sangat besar.

Hadir sebagai bagian dari perayaan 20 tahun kejatuhan rezim Ceausescu, Tales from the Golden Age sepertinya ingin mengenang masa-masa kelam tersebut dengan cara menertawakannya. Humor, lebih spesifik lagi adalah humor gelap, bisa jadi merupakan cara untuk melihat semua kesengsaraan di masa lalu tanpa merasa marah atau sedih, dan dengan begitu, hantu masa lalu itu akan tetap diingat dan dijadikan pelajaran kedepannya.

3/15/2013

2 The Sweet Hereafter (1997)


Sutradara: Atom Egoyan
Pemain: Ian Holm, Sarah Polley, Bruce Greenwood, Gabrielle Rose

Apa yang kita harapkan dapat diperoleh dari menonton sebuah film? Sebuah pertanyaan sederhana yang terkadang jawabannya lebih rumit dari yang dibayangkan. Film, yang baik tentu saja, bisa menyajikan banyak hal, pengalaman tentang kehidupan dan juga kematian, tentang harapan dan kecemasan, tentang psikologi manusia dan bagaimana mereka bereaksi secara emosional terhadap semestanya, dan lain sebagainya. Secara sederhana, sebuah film bisa menyajikan pengalaman yang mengayakan batin. Jika ini yang kita cari, The Sweet Hereafter, sebuah karya luar biasa dari sutradara Atom Egoyan yang diangkat berdasarkan novel Russel Banks, patut untuk dicermati.

Mengambil tempat di sebuah kota kecil di Kanada, dengan hamparan putih salju yang mendominasi lanskapnya dan langit kelabu yang menggantung di cakrawala, kita langsung dibawa menuju suasana terpencil dan, sedihnya, penuh kemuraman. Sebuah kecelakaan tragis baru saja terjadi. Kecelakaan itu merenggut nyawa hampir semua anak kecil di kota itu kecuali seorang, tapi korban sesungguhnya dari tragedi itu adalah mereka yang selamat dan para orangtua yang kehilangan. Ya, eksplorasi kedukaan orang-orang yang ditinggalkan adalah motif utama film ini. Bagaimana mengatasi kehilangan dan emosi yang muncul sebagai bentuk ekspresi kedukaan bermacam-macam. Ada yang menuangkannya dalam bentuk kemarahan, sebagian putus asa, sebagian lagi menyalahkan diri sendiri.

Adegan dibuka dengan sangat sublim. Sebuah keluarga – ayah, ibu dan bayi mereka – tertidur di lantai. Kamera melihat dari atas bentuk paling sederhana dari keintiman kehidupan privat itu, dan menempatkan penonton dalam kerangka sebagai seorang pengganggu. Tapi kemudian, sosok pengganggu itu diwujudkan dalam bentuk seorang pengacara, Mitchel Stephens (Ian Holm), yang datang ke kota itu untuk membujuk para orangtua agar mengajukan tuntutan hukum kepada pihak-pihak yang disinyalir, secara langsung maupun tidak, menyebabkan terjadinya kecelakaan itu. Pada awalnya terkesan dia adalah sosok yang dingin, dan semata datang sebagai seorang, katakanlah, pengambil keuntungan dari kemalangan orang lain. Meskipun di awal-awal disajikan percakapannya dengan putri satu-satunya yang bermasalah, barulah sepanjang film kita mengetahui bahwa uang bukanlah tujuan utamanya. Melalui sorot matanya, kita bisa tahu dilema yang dihadapinya, dan semacam perasaan kehilangan yang sama seperti yang dirasakan oleh para orangtua yang anak-anaknya meninggal dalam kecelakaan itu. Usaha untuk mengajukan tuntutan itu bisa dipandang sebagai sebuah “penebusan” atau, setidaknya, sebuah cara untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Kunci dari kasus ini adalah kesaksian korban yang selamat, si remaja Nicole Burnell, yang diperankan dengan sangat menawan oleh Sarah Polley. Kecelakaan itu tidak hanya merenggut kemampuannya berjalan tetapi juga masa depannya. Sebelum terjadinya kecelakaan, masa depan gemilang seperti sudah menantinya. Tapi dalam sekejap saja, tiba-tiba dia seolah kehilangan segalanya, termasuk “kasih sayang” ayahnya yang berlebihan. Kecewa dan putus asa, tapi apa yang bisa dilakukannya? Pada titik tertentu, dia akhirnya mengambil jalan seperti tokoh dongeng anak-anak dalam cerita yang pernah diceritakan olehnya sekaligus mengingkari janjinya sendiri untuk tak berkata bohong.

Dengan narasi yang disampaikan secara mozaik namun tak membingungkan (salah satu kelebihan film ini), Egoyan membawa kita mengarungi sisi psikologis manusia di tengah duka. Kita melihat bagaimana hancurnya perasaan Dolores, sang sopir bus, saat menyadari semua anak-anak itu bagaikan anak-anaknya sendiri yang tak dimilikinya. Atau bagaimana melanjutkan hidup setelah segala yang dimiliki menghilang. Bagi Nicole, melakukan sebuah aksi balas dendam yang manis, tapi sekaligus menyakitkan. Dan bagi Billy Ansel, yang kehilangan dua anak kembarnya, itu sama artinya dengan stagnasi, dan yang bisa dilakukannya hanyalah mempertahankan masa lalu. Baginya, masa depan itu sudah tak ada. Karena itu, tuntutan class action itu tak diperlukan dan sang pengacara dianggap sebagai seorang pengganggu saja. Jika tuntutan itu terealisasi, dia sadar bahwa relasi di antara masyarakat akan berubah. Tapi meskipun tuntutan itu gagal, kita semua tahu bahwa pada akhirnya perubahan itu tetap tak bisa dihindari.

2/07/2013

0 The World Is Big and Salvation Lurks Around the Corner (2008)



Judul asli: Svetat e golyam i spasenie debne otvsyakade
Sutradara: Stefan Komandarev
Pemain: Miki Manojlović, Carlo Ljubek, Hristo Mutafchiev, Ana Papadopulu

Tema pencarian identitas umum dijumpai dalam film-film perjalanan. Seseorang yang kehilangan ‘identitasnya’ melakukan perjalanan ke sebuah tempat, secara sadar ataupun tidak, demi mencari ‘sesuatu’ yang hilang dari dirinya. Seperti yang kita ketahui, perjalanan tersebut tidak semata-mata secara fisik, tetapi lebih menjurus pada perjalanan spiritual. Lewat pengalaman yang ditemui selama perjalanan itu, sang tokoh mendapatkan, katakan saja, kekayaan batin ataupun semacam pencerahan – sesuatu yang membuat dirinya bisa memaknai kembali kehidupannya. Sesederhana itu alur ceritanya.

Stefan Komandarev mengadopsi alur cerita tersebut dengan taat dalam “The World Is Big and Salvation Lurks Around the Corner.” Tokoh sentralnya adalah Sashko, seorang pemuda emigran asal Bulgaria yang tinggal di Jerman. Ya, begitulah. Emigran yang tinggal di tempat asing adalah kata kuncinya. Kita pun seakan mahfum jika persoalan siapa dan bagaimana menempatkan dirinya dalam perbedaan budaya menjadi kendala umum di kalangan emigran. Persoalan rumit dan kompleks yang tak akan selesai dibahas dalam beribu-ribu halaman buku. Tapi tenang saja, Komandarev sepertinya tak ingin membuat penontonnya mengerutkan dahi dan lebih memilih untuk menarasikan kisahnya dalam bentuk paling sederhana dan memikat.

Kisahnya dimulai dari kelahiran bayi Sashko di sebuah tempat di Balkan dimana “Eropa berakhir tapi tak pernah bermula.” Kisah selanjutnya melompat ke masa Sashko muda, bersama ayah ibunya bermobil menuju Bulgaria untuk pertama kalinya sejak beremigrasi. Tapi malangnya, mereka mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ayah ibunya. Sashko selamat dan berangsur-angsur pulih secara fisik tapi tidak dengan ingatannya. Mengetahui hal itu, kakeknya Bai Dan, seorang juara lokal permainan backgammon, mencoba membantunya memulihkan ingatan tentang masa lalunya sekaligus jati dirinya dengan mengajaknya bersepeda menuju tanah kelahirannya diselingi dengan permainan backgammon yang filosofis.

Dengan serangkaian kilas balik di sepanjang film, kisah Sashko kecil pun disampaikan untuk melengkapi keutuhan kisah hidup Sashko. Keluarganya – ayah, ibu, kakek, dan nenek – tinggal di Bulgaria di masa pemerintahan komunis yang mengekang kehidupan masyarakatnya. Kakeknya yang berwatak keras suatu kali menyindir pejabat partai yang berkuasa. Perbuatan itu secara tak langsung membuat keluarganya tersudut, dan memaksa ayah ibunya untuk bermigrasi, tentunya secara ilegal.

Satu hal menarik yang saya tangkap dari film ini mengenai dua perjalanan yang dilakukan oleh karakter Sashko, yang pertama ketika dia bermigrasi ke Jerman dan kemudian ketika dia bersama kakeknya bersepeda menuju Bulgaria. Melalui mata Sashko kecil kita diajak berjalan dari lingkup tradisional menuju kemegahan modernitas. Kemudian saat tersesat dalam modernitas, dalam kasus Sashko hal ini diwujudkan dalam bentuk amnesia, kita diajak untuk meninggalkan sejenak modernitas dan kembali menuju akar tradisinya. Inilah perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Sashko, menggali jati dirinya agar dia bisa mendefinisikan dirinya dalam dunia modern yang asing. Jati diri adalah pegangan manusia di tengah carut marutnya dunia modern.

Film yang diangkat berdasarkan novel semi biografis karya Ilija Trojanov ini mencoba menawarkan perspektif lain dalam kehidupan totalitarian menjelang keruntuhan rezim komunisme di Eropa Timur lewat kacamata sebuah keluarga kecil dan segala seluk beluk permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Meskipun alur ceritanya sangat sederhana, mudah ditebak dan, dalam taraf tertentu, mendekati klise, tak mengurangi kenikmatan menyimak kisah yang berakhir bahagia ini. Banyaknya pesan-pesan moral maupun filosofis yang terselip dalam obrolan-obrolan ringan di sela-sela permainan backgammon disertai panorama pegunungan yang menawan di sepanjang perjalanan kedua tokohnya merupakan nilai tambah tersendiri bagi film ini.

1/04/2013

0 Prisoner of the Mountains (1996)


Judul asli: Kavkazskiy plennik
Sutradara: Sergei Bodrov
Pemain: Sergei Bodrov Jr., Oleg Menshikov,
Jemal Sikharulidze, Susanna Mekhralieva


Perang itu absurd. Perang itu sia-sia. Perang itu tak ada gunanya. Sentimen anti perang semacam itu sangat lazim ditemui dalam film-film anti-perang, yang biasanya mengupas persoalan mengenai tempat manusia dalam gejolak perang. Itulah yang disampaikan secara liris dan menggugah oleh Sergei Bodrov dalam Prisoner of the Mountains, yang mencoba menggambarkan absurditas perang dengan lebih seimbang dan lebih personal.

Film yang diangkat dari cerpen karya pujangga besar Rusia, Leo Tolstoy, ini berlatar konflik antara pemerintah Rusia dengan Chechnya. Sejak Tolstoy menulis cerpennya kurang lebih satu setengah abad yang lalu, situasi konflik tak banyak berubah, bahkan semakin memanas pada pertengahan tahun 1990-an. Pengambilan gambar film ini bahkan terjadi beberapa saat sebelum meletusnya pemberontakan Chechnya, dan lokasinya pun hanya berjarak beberapa km dari lokasi peperangan.

Menceritakan dua orang tentara Rusia, Sasha (Oleg Menshikov) dan Vanya (Sergei Bodrov Jr.), yang ditawan oleh seorang gerilyawan muslim, Abdul Murat (Jemal Sikharulidze). Gerilyawan muslim biasanya tak pernah mengambil tawanan perang, tetapi Abdul tak punya pilihan lain setelah putranya ditawan oleh pihak Rusia. Sasha dan Vanya hendak dijadikan sebagai alat barter bagi putranya.

Di tengah-tengah penantiannya sebagai tawanan perang, kedua tawanan tersebut, yang karakternya sangat berbeda, mulai menjalin persahabatan. Sasha adalah seorang veteran yang gila perang dan keras kepala. Dia bergabung dengan militer karena “dia bodoh, menyukai senjata dan membutuhkan uang.” Awalnya dia merasa terganggu dengan Vanya, seorang prajurit baru yang masih naif, belum pernah sekalipun menembakkan senjatanya, dan mengkhawatirkan nasibnya selama ditawan. Tapi pada akhirnya dia menjadi pembimbing dan pelindungnya.

Lamanya masa penahanan rupanya menjadi pengalaman baru bagi si hijau Vanya. Dari hasil pengamatan sehari-hari, dia mulai memahami kehidupan orang-orang pegunungan tersebut, dan juga menjalin pertemanan dengan putri bungsu Abdul, Dina (Susanna Mekhralieva). Dina adalah satu-satunya karakter yang memandang kedua tawanan tersebut sebagai manusia, bukan sebagai musuh. Melalui interaksi dua orang inilah kita disuguhi penilaian betapa perang sebagai justifikasi melakukan pembunuhan itu sangat tak masuk akal.

Sergei Bodrov menyampaikan pesan humanisme universal ini dalam bentuk sederhana, disertai gambaran lanskap pegunungan yang indah dan tenang – sebagai gambaran kontras terhadap riuh peperangan – dan juga dialog yang kental dengan humor ironis. Sebagai pengingat tentang absurditas perang, film ini bisa dibilang berhasil menyajikannya dengan ringan namun tanpa kehilangan bobotnya.


 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates