10/29/2012

2 Head-On (2004)


Judul asli: Gegen die Wand
Sutradara: Fatih Akin
Pemain: Birol Unel, Sibel Kekilli, Cem Akin, Catrin Striebeck

Ini adalah kisah cinta. Dalam film kategori semacam ini, kisahnya selalu sama: dua sosok manusia bertemu, mereka saling tertarik, ada ujian yang memisahkan mereka, dan pada akhirnya mereka bersatu, untuk selamanya atau hanya sekejap saja. Head-On memasukkan semua unsur tersebut, tetapi dengan cara aneh, unik dan menyesakkan. “Kita hanya dapat mencintai dan dicintai hanya dalam kesedihan,” begitulah anggapan Dostoyevsky tentang cinta, yang sepertinya tepat sekali diterapkan dalam film ini.

Head-On dibuka dengan adegan yang mencolok mata. Sesosok karakter yang tampilannya acak-acakan, mabuk-mabukan dan berkelahi dengan orang lain kemudian mengemudi gila-gilaan dan menghantamkan mobilnya ke sebidang tembok. Untungnya, atau justru malangnya, tokoh itu tidak mati. Dialah Cahit (Birol Unel), tokoh utama film ini, yang akibat perbuatannya itu membuatnya harus dirawat di klinik terapi kejiwaan. Di klinik itu juga dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang usianya jauh dibawahnya, namanya Sibel (Sibel Kekilli).

“Apakah kamu orang Turki? Maukah kamu menikahiku?” Jika dalam keadaan normal – dua orang yang telah lama memadu kasih, pertanyaan itu akan terasa biasa meskipun efeknya bisa jadi luar biasa. Tapi dalam kasus Cahit, pertanyaan Sibel itu sangat mengejutkan, tidak saja karena mereka baru pertama kali bertemu, tetapi juga karena mereka berdua sedang menjalani perawatan akibat usaha bunuh diri yang gagal. Sosok Cahit yang destruktif dianggap sebagai penyelamat bagi Sibel yang merasa terkekang dengan keluarganya yang konservatif, semata-mata karena dia seorang imigran Turki di Jerman.

Mereka berdua sama-sama berdarah Turki, sama-sama putus asa dengan hidup mereka, namun mereka akhirnya menikah. Keduanya bukan pasangan ideal dan pernikahan itu sendiri jauh dari ideal. Mereka tinggal satu atap tapi menjalani kehidupan pribadi, termasuk seks, sendiri-sendiri, hal yang memang disepakati bersama sejak awal. Cahit memenuhi kebutuhan seksnya dengan seorang penata rambut (Catrin Striebeck) sedangkan Sibel dengan beberapa lelaki yang ditemuinya di klub malam. Meskipun begitu, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Cahit membutuhkan Sibel semata hanya untuk merapikan kamarnya sementara Sibel membutuhkan Cahit untuk lepas dari kungkungan keluarganya. Jadi pernikahan itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana mereka untuk keluar dari permasalahannya masing-masing. Tak lebih dari itu. Akan tetapi, kita semua tahu kondisi-kondisi semacam itu akan mengarah kemana.

Setelah mengalami proses pemahaman diri yang singkat, mereka akhirnya benar-benar jatuh cinta, hanya untuk menemui jurang takdir yang akan memisahkan mereka. Sepertinya klise tapi itu bukan sebuah hal yang bisa dihindari. Cahit dipenjara karena membunuh orang yang melecehkan Sibel. Sibel sendiri harus lari ke Istanbul karena dia dibuang keluarganya yang merasa reputasinya rusak setelah kasus itu terungkap di media massa.

Pada akhirnya, Cahit menyusul Sibel setelah dia keluar dari penjara. Mereka bertemu, akan tetapi sesuatu telah terjadi. Alih-alih mengakhirinya dengan memenuhi harapan penonton kebanyakan, yang menurut saya akan membuat film ini sama dengan film picisan serupa ala Hollywood, Fatih Akin memilih akhir yang lebih realistis dan logis, meskipun menyakitkan.

Seperti film-film Fatih Akin lainnya, misalnya The Edge of Heaven dan Im Juli, kehidupan imigran Turki di Jerman dan segala persoalannya menjadi tema yang dominan. Membahas kehidupan imigran tentunya perbedaan budaya menjadi sebuah hal yang tak bisa dihindari. Karakter Cahit, meskipun dia lahir di Turki, yang seperti kehilangan akarnya – bahasa Turkinya yang kacau balau, dan pikiran terbuka Sibel yang mendambakan kehidupan bebas sebagai bentuk perlawanan terhadap keluarganya merupakan penggalan-penggalan dari persoalan identitas individu dan relasinya dengan kehidupan masyarakat yang punya budaya berbeda. Sebagai sepasang imigran yang tinggal di Jerman, keduanya berjuang dan tersudut dalam situasi yang tak menyenangkan. Perjalanan ke Istanbul, yang juga lazim ditemui dalam film-film Fatih Akin yang lain, hanyalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk keluar dari kekusutan itu. Sekali lagi Fatih Akin, yang tak pernah menyangkal akar Turki-nya, menempatkan Istanbul sebagai surga penyelamatan.

Melihat Head-On mengingatkan saya pada karakter Ka dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Bukan semata-mata karena kesejajaran tokoh Ka dengan Cahit, yang sama-sama imigran Turki di Jerman yang melakukan perjalanan ke Turki demi mengejar cintanya, tapi juga karena keserupaan temanya. Dalam Snow, dan juga karya Pamuk lainnya, karakter-karakternya selalu ditempatkan dalam kegamangan identitas dan ambiguitas budaya yang diakibatkan oleh pertentangan kebudayaan Barat dan Timur. Sebuah masalah yang sepertinya disematkan sejak lahir kepada setiap orang Turki modern, buah dari westernisasi, modernisasi dan sekularisasi yang diusung oleh Kemal Ataturk. Bagi saya, melihat film-film Fatih Akin seperti membaca novel-novel Orhan Pamuk dengan perspektif dan media yang berbeda.

2 comments:

  1. keren filmnya, sangat direct dan raw. konflik tentang identitas diri dan dua budaya yg saling tarik menarik akan selalu menjadi topik yg menarik.

    ReplyDelete
  2. Betul, apalagi dipadukan dengan kisah cinta hihi....

    ReplyDelete

 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates