12/13/2012

1 Tiga Film Tentang Perang Balkan

Perang Balkan (1991-1995) bisa jadi merupakan salah satu perang paling kompleks, membingungkan dan berdampak paling menghancurkan dalam sejarah perang modern setelah Perang Dunia II. Dari segi politis, perang ini memunculkan kesatuan-kesatuan politik baru yang dibangun dari reruntuhan negara Yugoslavia. Dari segi kemanusiaan, muncul istilah baru yang dampaknya setara dengan holocaust pada Perang Dunia II, yaitu pembersihan etnis. Bagi manusia-manusia pasifis yang terjebak dalam kondisi carut-marut tersebut, perang ini merupakan sebuah kejadian yang absurd. Begitulah setidaknya yang saya tangkap dari film-film tentang Perang Balkan karya sineas negeri itu; Underground (1995) karya Emir Kusturica, Pretty Village Pretty Flame (1996) karya Srdjan Dragojevic, dan No Man’s Land (2001) karya Denis Tanovic.

“Pada suatu masa, ada sebuah negara, dan ibukotanya adalah Belgrade.” Begitulah narasi awal Kusturica untuk membawa kita menuju kisah penghancuran diri sebuah negara oleh orang-orang negara itu sendiri. Menelusuri jejak Yugoslavia selama kurang lebih lima puluh tahun, kita akan mendapati bagaimana reaksi penduduknya menanggapi peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di sekitar mereka serta bagaimana mereka berjuang untuk kejayaan negara itu dan, ironisnya, kemudian menghancurkannya dengan tangan-tangan mereka sendiri.

Underground mengikuti perjalanan sepasang sahabat, Blacky dan Marko, mulai dari invasi Reich-nya Hittler, era perang dingin, sampai perang saudara pada awal dekade 1990-an. Film yang dibawakan dalam nuansa humor surealis ini menyorot sepak terjang masing-masing karakter dan bagaimana mereka berinteraksi dengan keadaan sekitar. Blacky yang idealis dan romantis, tak pernah bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus tunduk pada kekuasaan asing. Dia berjuang dengan berbagai cara untuk memastikan bahwa kedaulatan negaranya tetap terjaga. Pada sebuah kesempatan, dia sangat tersudut sehingga memaksanya mengungsi ke bawah tanah. Hal ini berbanding terbalik dengan Marko yang lebih dinamis dan oportunis, meskipun keduanya sama-sama berjuang untuk tanah airnya. Kemudian sampailah pada adegan yang absurd, Marko mengelabui Blacky agar tetap tinggal di bawah tanah dengan alasan perang masih berlangsung. Padahal sebenarnya perang sudah lama usai, dan Marko, yang kini menempati posisi penting dalam birokrasi Yugoslavia dibawah pemerintahan Tito, memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Tinggalnya Blacky di bawah tanah ini semacam simbol pengawetan idealisme dalam diri Blacky yang tak terkontaminasi oleh pengaruh luar. Dan ketika Blacky keluar, kita melihat bagaimana ketidakmampuan untuk menafsirkan keadaan bisa berakibat sangat fatal.

Menempatkan dua sosok individu dalam situasi perang, yang awalnya bersahabat kemudian saling beroposisi, bukanlah tema baru, bahkan sangat lazim digunakan untuk menggambarkan absurditas dari perang dalam mempengaruhi nilai-nilai kemanusiaan, dalam hal ini hubungan antar individu yang tersisihkan oleh apa yang disebut nasionalisme, patriotisme, dan sebagainya. Kusturica mengakhiri filmnya dengan narasi “tak ada yang namanya perang sampai seseorang membunuh saudaranya sendiri.” Dan dalam Pretty Village Pretty Flame, Srdjan Dragojevic mencoba menekankan dampak perang ini melalui tokoh Milan dan Halil.


 
Milan yang seorang Serbia dan Halil yang seorang muslim Bosnia merupakan sahabat semasa kecil. Di dekat desa mereka terdapat terowongan yang menurut dongeng lokal merupakan tempat tinggal monster yang jika dibangunkan akan “memangsa orang-orang desa dan membakar rumahnya.” Ketika mereka berdua memberanikan diri untuk melihat ke dalam terowongan tersebut, mereka menemukan tumpukan mayat dan juga, yang mengejutkan, mayat mereka sendiri. Ini semacam tanda bahwa, entah bagaimana caranya, mereka akan selalu memiliki keterikatan dengan terowongan itu. Dan memang itulah yang terjadi, setelah dewasa keduanya bertemu kembali di terowongan tersebut, kali ini berada di kubu yang saling berlawanan. Milan merupakan bagian dari pasukan milisi Serbia yang bertugas menghancurkan desa-desa orang Bosnia. Suatu malam mereka disergap oleh pasukan Bosnia yang membuat kesatuan Milan tersudut dan berlindung di dalam terowongan. Halil ada di dalam kesatuan pasukan Bosnia yang mengepung Milan dan rekan-rekannya. Dan kisahnya berlanjut dengan serangkaian kilas balik yang mengulas latar belakang masing-masing tokoh yang terjebak di dalam terowongan itu.
Meskipun film ini bisa dibilang berhasil dengan baik menggambarkan konflik Balkan setidaknya dari sisi Serbia, banyak kritik menyebutnya sebagai penyangkalan Serbia atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Perang Balkan. Dan dalam beberapa tingkat, saya sendiri menilai ada beberapa poin yang disampaikan secara tidak berimbang. Karakter Milan, entah sengaja atau tidak, seolah-olah digambarkan sebagai pahlawan yang tak berdaya, dan tindakannya semata karena dorongan naluriah yang muncul dari kekacauan perang. Di sisi lain, pihak Bosnia tak mendapat porsi yang cukup dan hanya digambarkan sisi brutalnya saja. Setidaknya, hal inilah yang mendasari Denis Tanovic untuk menggambarkan situasi perang dengan lebih berimbang dalam No Man’s Land.


No Man’s Land membawa absurditas perang dalam bentuknya yang paling personal: interaksi dua individu berlawanan yang terperangkap di tanah tak bertuan. Terkadang lucu, tapi lebih kental nuansa ironinya. Itulah yang terjadi antara Ciki, seorang milisi Bosnia, dengan Nino, seorang prajurit Serbia. Di tengah penantiannya, yang terkesan sia-sia, mereka berdebat tentang siapa yang memulai perang dan menghancurkan negeri yang indah itu. Jika dalam keadaan normal, bisa jadi mereka akan berteman, saling mengirimi kartu ucapan selamat tahun baru, dan hal-hal yang biasa dijalani oleh dua sosok manusia yang tak terlibat perang. Tapi pada kenyataannya, buat apa berkenalan jika ke depannya mereka akan saling membidikkan senapan. Meskipun di masa lalu mereka pernah mengencani perempuan yang sama, kini mereka harus saling membunuh untuk menyelamatkan diri mereka sendiri.

Selain itu Tanovic juga mengkritisi entitas PBB dan keterlibatannya dalam konflik Balkan. Kita melihat bagaimana pasukan perdamaian PBB yang, dengan kapasitas dan dukungannya, seharusnya bisa menghentikan perang sia-sia ini, justru lebih memilih bersikap pasif dan menjadi pengamat saja. Bagaimana tragedi kemanusiaan ini bisa dengan mudahnya disingkirkan oleh omong kosong birokratis dan dagelan politik tingkat tinggi jika menyangkut orang-orang tak dikenal. Sungguh aneh sekaligus ironis bagaimana posisi manusia dilihat dari kacamata politis ini.

Dampak konflik Balkan bagi penduduk di wilayah itu sangat menghancurkan, baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Adegan penutup dari Underground, ketika masing-masing tokoh berkumpul dan berpesta di sebuah tanah yang perlahan memisahkan diri dari daratan utama, bisa jadi melambangkan keinginan penduduk setempat untuk tak lagi mengalami mimpi buruk itu dan hidup berdampingan dengan damai.

11/05/2012

3 The Man Without a Past (2002)


Judul asli: Mies Vailla Menneisyytta
Sutradara: Aki Kaurismaki
Pemain: Markku Peltola, Kati Outinen

Bagaimana seseorang menjalani hidup tanpa ingatan tentang masa lalunya? Tema semacam itu sering kita jumpai dalam film-film misteri dan psychological thriller, yang biasanya mengedepankan pencarian identitas yang hilang dan merupakan kunci dari seluruh film tersebut. Tapi dalam drama romantis karya Aki Kaurismaki, The Man Without a Past, hilangnya ingatan justru dijadikan sebagai titik tolak untuk memulai hidup baru. Jangan salah sangka, meskipun permulaannya mengejutkan, film ini lebih bernuansa drama-komedi romantis dan sama sekali tak ada unsur misteri didalamnya.

Kisah dimulai ketika tokoh utamanya (Markku Peltola) tiba di Helsinki dan menjadi korban perampokan dan penganiayaan hingga dia nyaris mati. Meskipun sudah dinyatakan meninggal oleh dokter, entah bagaimana dia bangkit dan berjalan, tanpa arah, tujuan, maupun alasan tertentu. Terlebih lagi dia tak ingat siapa dan darimana asalnya. Dia sampai di pemukiman kaum gelandangan yang tinggal di kontainer bekas, dan disanalah kisahnya berlangsung. Dalam suasana yang serba terbatas, kita akan disuguhi perjuangan untuk menata hidup, empati yang terjalin antar sesama gelandangan, bagaimana sulitnya hidup di dunia modern ini tanpa sebuah identitas, dan diatas segalanya, sebuah kisah cinta yang unik. Lewat sosok Irma (Kati Outinen), seorang pekerja sosial yang membantu para gelandangan, dia tidak sekedar mendapatkan dorongan material dan spiritual untuk memulai hidupnya kembali, tetapi juga cinta yang, seingatnya, tak pernah didapatkannya.

Dalam pengambilan gambar yang nyaris statis, kita akan mendapatkan kisah yang mengalir dengan dialog yang minimalis dan terkesan humoris. Berkali-kali saya tersenyum mendengar percakapan antar tokohnya yang ringan namun mengena. Bagaimana deskripsi anjing yang galak itu tak seperti kenyataannya, atau jawaban tukang listrik saat ditanya berapa biaya pemasangan listriknya adalah bagian-bagian komikal dari film ini. Dan mencapai puncak humornya pada perdebatan hukum antara petugas polisi dengan seorang pengacara. Selain suguhan humor, ada juga nuansa tragis didalamnya. Seperti saat si tokoh hendak mencari kerja, tapi dia harus mengisi lamaran yang mengharuskannya mencantumkan nama dan seluruh identitasnya. Juga gambaran tentang bagaimana sikap orang-orang yang tak bisa mempercayai kenyataan bahwa dia kehilangan ingatannya. Lucu sekaligus trenyuh mendengarnya.

Wajah datar dan nyaris tanpa ekspresi yang diperlihatkan Markku Peltola sepanjang film benar-benar menggambarkan orang yang tak punya masa lalu. Kita tak pernah tahu apa perasaan yang bergejolak dibalik wajah seperti itu. Wajah itu tak pernah mengungkapkan kebahagiaan, jikalau ada, maupun kesedihan secara berlebihan. Tetapi entah bagaimana, saya melihat ada bayang-bayang sendu yang tak diinginkannya terbawa dari masa lalunya di wajah itu. Itulah kenapa, hilangnya ingatan tentang masa lalunya merupakan tonggak baginya untuk memulai hidup baru. Tanpa adanya kenangan yang mengikatnya, dia seperti terlahir kembali.

Pada akhirnya kita akan disuguhi panorama kehidupan manusia dengan berbagai persoalannya, bagaimana memposisikan diri dalam dunia yang asing, dan bagaimana memaknai kebahagiaan dalam bentuknya yang paling sederhana. The Man Without a Past bisa dikatakan sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh Aki Kaurismaki.

11/03/2012

14 No Country for Old Men (2007)


Sutradara: Joel Coen dan Ethan Coen
Pemain: Javier Bardem, Tommy Lee Jones, Josh Brolin


Kritikus film Roger Ebert suatu kali pernah berkata, ”Baik buruknya sebuah film bisa dilihat dari karakter tokoh jahatnya.” Meskipun banyak dari pilihan film yang dipujinya kurang sesuai dengan selera saya pribadi, mau tak mau saya menyetujui pernyataannya itu terkait dengan karya paling prestisius dari Coen bersaudara, No Country for Old Men. Melihat film ini tentunya tak bisa mengesampingkan karakter sosiopat berpotongan rambut lucu bernama Anton Chigurh. Dialah tokoh jahat sekaligus ‘roh’ film ini.

Berawal dari sebuah transaksi narkoba yang berjalan kacau, dimulailah perjalanan takdir yang menentukan nasib tiga tokoh utamanya. Llewelyn Moss (Josh Brolin), seorang veteran perang Vietnam, menemukan uang haram transaksi tersebut dan, seperti sudah menjadi naluri dasar setiap manusia yang dihadapkan pada pilihan yang terlihat menguntungkan, mengambilnya. Si pemilik uang kemudian mengirimkan Anton Chigurh (Javier Bardem) untuk mendapatkannya kembali. Menyadari sesuatu yang buruk sedang dan akan terjadi, seorang sheriff tua bernama Tom Bell (Tommy Lee Jones) melacak keduanya dengan harapan untuk menyelamatkan Moss dari ancaman Chigurh. Dan akhirnya kita disuguhi sebuah adegan perburuan yang unik. Mereka bertiga saling berhubungan, akan tetapi, kecuali adegan dimana Moss dan Chigurh saling baku tembak, ketiganya tak pernah berada dalam satu ruang, waktu dan frame secara bersamaan.

Kisah No Country for Old Men mengambil latar di daerah Texas tahun 1980-an. Membayangkan daerah barat Amerika, daerah yang menampilkan kesan seperti wilayah pinggiran yang terlupakan dari sebuah peradaban, yang gersang dan tandus, tak bisa dilepaskan dari nuansa kekerasan dan hukum alam dimana yang kuatlah yang bisa selamat. Bisa jadi karena itulah daerah barat Amerika menjadi sumber inspirasi film-film koboi, disana hukum dan keadilan disuarakan dengan moncong sebuah senapan.

Dalam film-film bergenre western, kita sering melihat pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, dimana biasanya kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. Meskipun film ini bisa dikategorikan dalam genre serupa, No Country for Old Men tidak terjerumus dalam stereotip semacam itu. Bahkan bisa dibilang karakternya tak bisa dilihat secara hitam putih, meskipun dari standar moral apapun, kita tahu siapa tangan kanan kejahatan di film ini. Tapi dimana orang baiknya?

Dilihat dari perspektif moral, agama, maupun hukum, Chigurh adalah orang jahat. Tapi meskipun dia seorang pembunuh, dia tak melakukannya dengan membabi buta. Dia punya prinsip. Bukan dia yang menentukan apakah orang yang ditemuinya itu dibunuh atau tidak, tapi takdir yang dipilih orang itu berdasarkan lemparan koin. Seorang pembunuh yang punya standar kode etiknya sendiri, membunuh tanpa belas kasih tapi tetap menjaga dirinya supaya tak ternodai darah korbannya. Dia adalah semacam representasi biblikal dari malaikat maut, kemanapun dia melangkah selalu membawa bayang-bayang kematian. Dan saat dia melanggar prinsip itu dengan membunuh istri Moss, dia mendapat hukumannya.

Karakter Moss sedikit membingungkan. Memang dia ambisius, keras kepala, dan tamak, tapi dia juga mencemaskan keselamatan istrinya. Dia juga sempat kembali ke tempat kejadian transaksi dengan membawa minuman, tapi itu hanya untuk sekedar mengobati rasa bersalahnya. Sebagai seorang alumni perang, dia mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Ketika menemukan mayat-mayat bergelimpangan, dia punya pilihan. Dengan berbekal rasa percaya diri bahwa dia bisa mengatasi resiko yang akan muncul, dia memutuskan untuk mencari uangnya. Pilihan yang mengubahnya dari seorang pemburu menjadi yang diburu.

Sebagai seorang sheriff, Tom Bell bukan karakter yang ideal. Alih-alih sebagai penegak hukum yang berkeinginan menangkap penjahat dengan sekuat tenaga, dia seolah terlihat tak mau berurusan langsung dengan Chigurh karena, seperti yang dia katakan di awal, “tak mau ambil bagian dari sesuatu yang tak dipahami.” Itulah yang membuatnya selalu tertinggal selangkah dibanding dengan Chigurh maupun Moss. Tom Bell adalah si Orang Tua dalam film ini. Dia mencoba mendefinisikan tempatnya di dunia yang tak lagi mampu dia pahami karakteristiknya. Tak seperti deputinya yang selalu waspada, dia berkali-kali terlihat memasuki tempat kejahatan berlangsung tanpa menyiapkan senjatanya karena dia merasa bahwa hal itu tak perlu. Di masanya, hal itu mungkin tak perlu. Tetapi ketika pada akhirnya dia menyadarinya, saat mendatangi lokasi terbunuhnya Moss, itu sudah terlambat. Ini bukan masanya lagi. Tak ada lagi tempat bagi orang tua dalam dunia yang brutal semacam itu.

Sekali lagi, Coen bersaudara mengangkat kembali tema yang sukses mereka sampaikan lewat Fargo kedalam film ini. Pesimisme dalam diri Tom Bell dan nihilisme yang dibawa Anton Chigurh diturunkan langsung dari novel Cormac McCarthy yang menjadi sumber film ini. Ditambah lagi kehendak bebas dan jalannya takdir menjadi bagian dominan di sepanjang film. Seperti yang terjadi pada Moss saat dia mendatangi lokasi transaksi obat bius. Dia punya pilihan yang harus dihadapi, dia menimbang konsekuensinya, dan memilih, sayangnya, yang terburuk. Dia sadar mengenai apa yang akan dihadapi dengan pilihannya itu, tetapi dia menganggap bisa mengatasi ancaman iblis yang ada di balik itu. Dia terbukti salah dengan anggapan itu. Menyangkut temanya, tak ada yang lebih jelas menggambarkannya dibandingkan dengan adegan-adegan awal ketika seorang deputi menangkap Chigurh. Dia menelepon atasannya dan mengatakan bahwa semuanya bisa dikendalikan. Tapi beberapa saat kemudian dia mati. Sesingkat itu. Keadaan yang terlihat bisa ditangani, ternyata berjalan di luar kendali.

Sebagian penonton No Country for Old Men ada yang pulang dengan membawa kekecewaan. Dua hal yang paling disorot adalah adegan penutup yang dianggap antiklimaks dan tak adanya pesan moral didalamnya. Saya mendengarnya sendiri ketika seorang teman bertanya pada saya apa yang bisa didapat dari menonton film ini. Saya menjawabnya, dengan setengah bercanda, bahwa jika dia menginginkan pesan moral dan sebagainya, pergi saja ke khotbah Jumat. Lewat film ini, Coen bersaudara sepertinya memang tak ingin menguliahi kita dengan pesan moral atau apalah, bahwa kejahatan itu buruk dan pada akhirnya kebaikan pasti menang dan sebagainya. Justru mereka mengajak kita sebagai penonton untuk berpikir bagaimana jika dunia yang dicitrakan dalam film itu masuk kedalam realitas kita sehari-hari. Kita melihat reaksi si Orang Tua terhadap keadaan itu. Bagaimana dengan kita? Apakah kita akan seperti Tom Bell? Atau sebaliknya? Atau apa? Itulah kenapa, menurut saya, alih-alih memberi jawaban akhir, adegan penutupnya memang sengaja dibiarkan mengambang karena mereka ingin kita berpikir. Pilihan itu ada pada kita.

11/01/2012

0 Shadowlands (1993)


Sutradara: Richard Attenborough
Pemain: Anthony Hopkins, Debra Winger

Shadowlands adalah sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata mengenai hubungan asmara C. S. ‘Jack’ Lewis, penulis Narnian Chronicles, dengan Joy Gresham, seorang penyair Amerika. Berlatar di Oxford, Inggris pada tahun 1950-an, film ini mengeksplorasi tema kesedihan dan kehilangan dengan sangat mendalam.

Selama bertahun-tahun, Jack (Anthony Hopkins) menjalani hidup dengan pola yang sama. Dia adalah seorang pengajar di Oxford dan seorang penulis yang hidup tenang bersama saudaranya. Berkat karyanya, Narnia dan beberapa buku tentang teologi, dia disegani oleh sesama kolega di Oxford dan menuai popularitas dari para pengagum di seluruh dunia. Namun semuanya berubah ketika dia bertemu seorang pengagum dari Amerika, Joy Gresham (Debra Winger).

Disinilah drama sesungguhnya berlangsung. Seorang perempuan Amerika yang ‘tidak cuma memiliki jiwa tetapi juga otak’ masuk kedalam lingkaran intelektual Oxford yang didominasi dan memuja kecemerlangan kaum pria. Akan tetapi gangguan ala Amerika itu bukan intinya. Perlahan-lahan, Jack yang kaku dan dingin – mengingatkan saya pada karakter James Stevens dalam Remains of the Day yang juga diperankan secara brilian oleh Hopkins – menaruh simpati pada Joy. Mereka kemudian menikah, pertama secara teknis, untuk membantu Joy memperoleh ijin tinggal di Inggris, dan yang kedua, setelah Joy menderita kanker dan Jack harus merawatnya, benar-benar menikah secara agama karena mereka berdua adalah penganut yang taat. Mereka saling mendalami perasaan kasih itu untuk sesaat, sebelum akhirnya Joy meninggal dunia. Di titik ini, Jack yang sering memberikan ceramah tentang cinta, kesedihan dan takdir manusia di tangan Tuhan, diuji oleh teorinya sendiri tentang apa itu kehilangan dan kesedihan.

Sebuah film yang diangkat berdasarkan kejadian nyata, apapun kejadian nyata itu, merupakan subjek yang akan diinterpretasi, dan juga mis-interpretasi, oleh para pengamat atau seseorang yang mengetahui kejadian itu, berdasarkan perspektifnya sendiri. Tafsiran akan kejadian nyata itu bisa menjadi perdebatan yang tak berkesudahan, apalagi jika menyangkut seorang figur terkenal seperti C. S. Lewis. Bagi pengagum Lewis, ketiadaan karakter J. R. R. Tolkien, sosok terkenal lain yang juga sahabatnya, merupakan dosa terbesar film ini. Itu seperti memfilmkan Don Quixote tanpa menyertakan Sancho Panza. Tak bisa dimaafkan, apapun apologinya.

Terlepas dari itu, menyajikan kisah kehidupan seorang sosok terkenal hanya dalam waktu sekitar 2 jam – rata-rata durasi film, merupakan hal yang sulit. Saya pribadi dapat memaklumi alasan Richard Attenborough yang hanya fokus pada aspek romansa antara Lewis dengan Gresham saja. Meskipun tak lengkap, hal itu menurut saya tak mengurangi kualitas film ini sebagai sebuah gambaran kehidupan tahap akhir dari seorang C. S. Lewis. Secara keseluruhan, Attenborough, yang sepertinya mengkhususkan dirinya pada pembuatan film biografi (Gandhi, misalnya), berhasil membuat film ini sangat menyentuh. Dialog yang kaya dan padat, serta penampilan mengagumkan dari Anthony Hopkins dan Debra Winger membuat film ini sangat layak untuk dinikmati.

10/30/2012

1 Barton Fink (1991)


Sutradara: Joel Coen dan Ethan Coen
Pemain: John Turturo, John Goodman, Michael Lerner, Judy Davis, Jon Polito


Ketika mendengar film tentang kebuntuan seorang penulis, bayangan saya langsung tertuju pada salah satu karya agung Federico Fellini, 8 ½. Dan memang betul, dalam banyak hal Barton Fink memiliki hubungan pararel dengan masterpiece Fellini tersebut. Keduanya menyangkut kebuntuan berkarya, kedua tokohnya terkait dengan dunia film, keduanya sama-sama surealis, meski nuansa tersebut lebih kental dalam 8 ½.

Barton Fink adalah sebuah film ambisius karya dua bersaudara, Joel dan Ethan Coen – salah satu dari sedikit sutradara Hollywood yang sampai saat ini belum pernah mengecewakan saya. Film ini bisa dibaca sebagai satir perfilman Hollywood, sebagai petualangan alam kesadaran seorang penulis dan pergulatan idenya, sebagai gambaran oposisi antara seni tingkat tinggi (Broadway) dengan seni kacangan (Hollywood), maupun sebagai tafsiran modern dari tragedi Faustian.

Barton Fink (John Turturo), seorang penulis sandiwara proletarian, menghadapi dilema setelah sebuah sandiwaranya yang tampil di Broadway menuai sukses besar. Dia ditawari untuk bekerja di industri film Hollywood, yang tentu saja menawarkan kemewahan dan kenyamanan hidup. Tetapi dia tahu konsekuensi dari tawaran itu bertentangan dengan idealisme kirinya tentang penciptaan teater ‘dari, oleh dan untuk orang-orang biasa’. Pada tahun-tahun sebelum dan sesudah Perang Dunia II, pencitraan Hollywood sebagai ‘tempat menjual jiwa’ lazim ditemui di kalangan penulis. Sebagai contoh pandangan Holden Caulfield tentang kakaknya yang dianggap sedang melacurkan dirinya di Hollywood dalam novel J. D. Salinger yang fenomenal, The Catcher in the Rye. Meskipun hal itu bertentangan dengan idealismenya, Barton menerima tawaran itu dan mencoba untuk mendamaikan pikirannya dengan cara memilih menginap di Hotel Earle yang kumuh dan ‘kurang bernuansa Hollywood’.

Dengan masih berbekal gagasan-gagasannya yang naif, Barton mencoba, meskipun pada akhirnya gagal, menyelam kedalam dunia hingar bingar Hollywood. Dia bertemu beberapa karakter yang bisa jadi merepresentasikan kehidupan perfilman pada masa itu. Bos Capitol Pictures Jack Lipnick (Michael Lerner), seorang bedebah yang akan menjilat kaki siapapun yang bisa menghasilkan uang banyak bagi perusahaan filmnya. Lou Breeze (Jon Polito), seorang cecunguk yang hanya bisa menyetujui pernyataan atasannya. W. P Mayhew (John Mahoney), yang mengingatkan pada sosok William Faulkner sebatas tampilannya saja, seorang penulis pemabuk yang, setelah pindah ke Hollywood, tak bisa menulis lagi. Audrey Taylor (Judy Davis), sekretaris pribadi Mayhew merangkap teman tidurnya. Darinya Barton mengetahui rahasia tergelap Mayhew. Dan diatas semuanya, Charlie Meadows (John Goodman) yang merupakan tetangga kamarnya di Earle.

Charlie si sales asuransi adalah subjek dari gagasan Barton, orang-orang biasa. Kisah hidupnya sebetulnya bisa jadi sumber inspirasi bagi Barton yang sedang mengalami kebuntuan menulis. Tapi disinilah ironinya. Meskipun Barton mengakui bahwa kehidupan yang dijalani Charlie adalah ‘teater sesungguhnya’, dia mengabaikannya. Barton seolah tinggal di menara gading gagasan sendirinya dan secara tak sadar menolak untuk ambil bagian dari kehidupan orang biasa. Alih-alih mendengarkan ceritanya, Barton justru mengambil jarak dari subjek gagasannya dan sibuk bermasturbasi dengan pikirannya sendiri.

Hotel Earle yang rongsokan – kertas pelapis dindingnya yang terkelupas, pajangan pohon pisang yang setengah membusuk, gema bel yang tak berkesudahan, operator lift yang sepertinya berumur lebih tua daripada Methuselah – merupakan tempat terbuang atau bisa jadi malah neraka itu sendiri. Inilah ruang isolasi bagi Barton, baik dari pengaruh Hollywood maupun dari realitas kehidupan itu sendiri. Satu-satunya yang menarik perhatian Barton di kamarnya adalah sebuah lukisan yang memperlihatkan sesosok perempuan yang sedang berjemur di pantai. Dan ketika gambaran itu direplika di akhir film, mau tak mau penonton pun digiring untuk mempertanyakan batas antara realitas dan imajinasi.

Coen bersaudara, Joel yang lulusan New York University jurusan film dan Ethan yang sarjana filsafat dari Princeton, mampu menampilkan lapis-lapis gagasan yang padat dengan cerita yang mengalir dalam film ini. Selain itu akting Turturo dan Goodman – karakter Charlie memang diciptakan untuknya karena pembawaannya yang bersahabat – juga tak kalah bagusnya. Tak heran jika dalam perhelatan Cannes Film Festival 1991 film ini mendapatkan Palm d’Or.
YEW9HQATWCJ5

10/29/2012

2 Head-On (2004)


Judul asli: Gegen die Wand
Sutradara: Fatih Akin
Pemain: Birol Unel, Sibel Kekilli, Cem Akin, Catrin Striebeck

Ini adalah kisah cinta. Dalam film kategori semacam ini, kisahnya selalu sama: dua sosok manusia bertemu, mereka saling tertarik, ada ujian yang memisahkan mereka, dan pada akhirnya mereka bersatu, untuk selamanya atau hanya sekejap saja. Head-On memasukkan semua unsur tersebut, tetapi dengan cara aneh, unik dan menyesakkan. “Kita hanya dapat mencintai dan dicintai hanya dalam kesedihan,” begitulah anggapan Dostoyevsky tentang cinta, yang sepertinya tepat sekali diterapkan dalam film ini.

Head-On dibuka dengan adegan yang mencolok mata. Sesosok karakter yang tampilannya acak-acakan, mabuk-mabukan dan berkelahi dengan orang lain kemudian mengemudi gila-gilaan dan menghantamkan mobilnya ke sebidang tembok. Untungnya, atau justru malangnya, tokoh itu tidak mati. Dialah Cahit (Birol Unel), tokoh utama film ini, yang akibat perbuatannya itu membuatnya harus dirawat di klinik terapi kejiwaan. Di klinik itu juga dia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang usianya jauh dibawahnya, namanya Sibel (Sibel Kekilli).

“Apakah kamu orang Turki? Maukah kamu menikahiku?” Jika dalam keadaan normal – dua orang yang telah lama memadu kasih, pertanyaan itu akan terasa biasa meskipun efeknya bisa jadi luar biasa. Tapi dalam kasus Cahit, pertanyaan Sibel itu sangat mengejutkan, tidak saja karena mereka baru pertama kali bertemu, tetapi juga karena mereka berdua sedang menjalani perawatan akibat usaha bunuh diri yang gagal. Sosok Cahit yang destruktif dianggap sebagai penyelamat bagi Sibel yang merasa terkekang dengan keluarganya yang konservatif, semata-mata karena dia seorang imigran Turki di Jerman.

Mereka berdua sama-sama berdarah Turki, sama-sama putus asa dengan hidup mereka, namun mereka akhirnya menikah. Keduanya bukan pasangan ideal dan pernikahan itu sendiri jauh dari ideal. Mereka tinggal satu atap tapi menjalani kehidupan pribadi, termasuk seks, sendiri-sendiri, hal yang memang disepakati bersama sejak awal. Cahit memenuhi kebutuhan seksnya dengan seorang penata rambut (Catrin Striebeck) sedangkan Sibel dengan beberapa lelaki yang ditemuinya di klub malam. Meskipun begitu, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Cahit membutuhkan Sibel semata hanya untuk merapikan kamarnya sementara Sibel membutuhkan Cahit untuk lepas dari kungkungan keluarganya. Jadi pernikahan itu sendiri hanya berfungsi sebagai sarana mereka untuk keluar dari permasalahannya masing-masing. Tak lebih dari itu. Akan tetapi, kita semua tahu kondisi-kondisi semacam itu akan mengarah kemana.

Setelah mengalami proses pemahaman diri yang singkat, mereka akhirnya benar-benar jatuh cinta, hanya untuk menemui jurang takdir yang akan memisahkan mereka. Sepertinya klise tapi itu bukan sebuah hal yang bisa dihindari. Cahit dipenjara karena membunuh orang yang melecehkan Sibel. Sibel sendiri harus lari ke Istanbul karena dia dibuang keluarganya yang merasa reputasinya rusak setelah kasus itu terungkap di media massa.

Pada akhirnya, Cahit menyusul Sibel setelah dia keluar dari penjara. Mereka bertemu, akan tetapi sesuatu telah terjadi. Alih-alih mengakhirinya dengan memenuhi harapan penonton kebanyakan, yang menurut saya akan membuat film ini sama dengan film picisan serupa ala Hollywood, Fatih Akin memilih akhir yang lebih realistis dan logis, meskipun menyakitkan.

Seperti film-film Fatih Akin lainnya, misalnya The Edge of Heaven dan Im Juli, kehidupan imigran Turki di Jerman dan segala persoalannya menjadi tema yang dominan. Membahas kehidupan imigran tentunya perbedaan budaya menjadi sebuah hal yang tak bisa dihindari. Karakter Cahit, meskipun dia lahir di Turki, yang seperti kehilangan akarnya – bahasa Turkinya yang kacau balau, dan pikiran terbuka Sibel yang mendambakan kehidupan bebas sebagai bentuk perlawanan terhadap keluarganya merupakan penggalan-penggalan dari persoalan identitas individu dan relasinya dengan kehidupan masyarakat yang punya budaya berbeda. Sebagai sepasang imigran yang tinggal di Jerman, keduanya berjuang dan tersudut dalam situasi yang tak menyenangkan. Perjalanan ke Istanbul, yang juga lazim ditemui dalam film-film Fatih Akin yang lain, hanyalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk keluar dari kekusutan itu. Sekali lagi Fatih Akin, yang tak pernah menyangkal akar Turki-nya, menempatkan Istanbul sebagai surga penyelamatan.

Melihat Head-On mengingatkan saya pada karakter Ka dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Bukan semata-mata karena kesejajaran tokoh Ka dengan Cahit, yang sama-sama imigran Turki di Jerman yang melakukan perjalanan ke Turki demi mengejar cintanya, tapi juga karena keserupaan temanya. Dalam Snow, dan juga karya Pamuk lainnya, karakter-karakternya selalu ditempatkan dalam kegamangan identitas dan ambiguitas budaya yang diakibatkan oleh pertentangan kebudayaan Barat dan Timur. Sebuah masalah yang sepertinya disematkan sejak lahir kepada setiap orang Turki modern, buah dari westernisasi, modernisasi dan sekularisasi yang diusung oleh Kemal Ataturk. Bagi saya, melihat film-film Fatih Akin seperti membaca novel-novel Orhan Pamuk dengan perspektif dan media yang berbeda.

0 4 Months, 3 Weeks and 2 Days (2007)


Judul asli: 4 Luni, 3 Saptamani si 2 Zile
Sutradara: Cristian Mungiu
Pemain: Anamaria Marinca, Laura Vasiliu, Vlad Ivanov

Berlatar belakang di Rumania pada tahun-tahun akhir kekuasaan rezim Nicolae Ceaucescu, film ini mampu merefleksikan dengan baik kehidupan masyarakat Rumania dengan berbagai persoalannya. Bercerita tentang Otilia, seorang mahasiswi yang berusaha membantu teman sekamarnya, Gabita, untuk melakukan aborsi, yang pada saat itu merupakan perbuatan ilegal.

Otilia disini merupakan karakter yang merepresentasikan orang Rumania kebanyakan yang hidup dibawah tekanan pemerintahan otoriter. Dia mengatasi kebuntuan dengan jalan alternatif meskipun itu harus mengorbankan dirinya sendiri, membantu orang lain meskipun dia sendiri punya masalah – dengan kekasihnya yang posesif dan keluarganya. Gabita sebaliknya, dia tak punya inisiatif, sebuah hal yang, di tempat dimana ‘yang di atas menentukan segalanya,’ pasti akan meremukkannya. Ok, dia hamil, lalu membuat sebuah keputusan antara hidup dan mati. Sebatas itu. Sisanya dia serahkan pada Otilia. Segalanya.

Otilia mengumpulkan uang, membeli semua kebutuhan di pasar gelap, menyewa kamar hotel, menemui ahli aborsi, Bebe, yang curiga bahwa dirinya sedang dijebak, sampai membujuknya dengan tubuhnya karena Gabita berbohong mengenai usia kehamilannya. Tragedi sesungguhnya ada disini, dua perempuan muda yang ketakutan berhadapan dengan seorang lelaki yang oportunis. Sangat putus asa. Sangat memilukan.

Ditengah-tengah itu dia harus menjalani ujian kesetiaan yang diajukan Adi, kekasihnya - dia harus datang ke acara ulang tahun ibunya. Meskipun terlambat dia berhasil datang, hanya untuk duduk diam dan dilecehkan oleh orang tua Adi dan kawan-kawannya. Adegan diakhiri dengan Otilia dan Gabita saling berhadapan di meja makan. Mereka sepakat untuk tidak menyinggung lagi kejadian ini. Penyelesaian yang sublim ditambah tak adanya soundtrack sepanjang film ini membuat nuansanya semakin kelam.

Tragedi mencengangkan ini terekam dengan baik dalam sinematografi minimalis dari Cristian Mungiu. Film kedua Mungiu ini menjadi bukti kebangkitan sinema realis Rumania yang menonjolkan aspek ide dan cerita dibandingkan dengan grafis menawan semata. Bagi yang terbiasa melihat ‘film sebatas rekreasi visual’ saja, kemungkinan besar akan merasa bosan dengan film ini. Jangan pula mengharapkan adegan-adegan dahsyat yang membuat jantung berdebar-debar atau semacam itu. Cerita yang mengalir datar didapatkan dari kamera yang mengikuti gerak dan ekspresi tokohnya, serta relasi yang terjalin antar tokohnya, membuat penonton seolah-olah terbawa masuk dalam alam kesadaran tokohnya, merasakan apa yang dirasakannya. Inilah yang saya rasakan ketika Otilia duduk diam di ruang makan Adi, mendengarkan - setengah bosan, setengah canggung – obrolan dan sindiran kawan-kawan keluarga Adi, sembari memikirkan bagaimana keadaan Gabita. Inilah kekuatan utama film ini.

Rumania pada tahun 1987 dibawah rezim Nicolae Ceausescu merupakan masa-masa yang sulit bagi warganya. Rezim Ceausescu dianggap, oleh beberapa kalangan, sebagai rezim paling brutal dan represif dibandingkan dengan negara-negara komunis lainnya. Pada saat itu, aborsi sama saja dengan menantang maut, baik melalui prosesnya yang ilegal maupun hukuman yang menantinya jika ketahuan oleh pemerintah. Buramnya cerita 4 Months, 3 Weeks and 2 Days merupakan kritik sosial yang tajam terhadap represi kekuasaan yang totaliter. Bersama dengan Lives of the Others dan Goodbye Lenin, film ini adalah suara memilukan dari masyarakat Eropa Timur menjelang keruntuhan komunisme.
 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates