3/15/2013

2 The Sweet Hereafter (1997)


Sutradara: Atom Egoyan
Pemain: Ian Holm, Sarah Polley, Bruce Greenwood, Gabrielle Rose

Apa yang kita harapkan dapat diperoleh dari menonton sebuah film? Sebuah pertanyaan sederhana yang terkadang jawabannya lebih rumit dari yang dibayangkan. Film, yang baik tentu saja, bisa menyajikan banyak hal, pengalaman tentang kehidupan dan juga kematian, tentang harapan dan kecemasan, tentang psikologi manusia dan bagaimana mereka bereaksi secara emosional terhadap semestanya, dan lain sebagainya. Secara sederhana, sebuah film bisa menyajikan pengalaman yang mengayakan batin. Jika ini yang kita cari, The Sweet Hereafter, sebuah karya luar biasa dari sutradara Atom Egoyan yang diangkat berdasarkan novel Russel Banks, patut untuk dicermati.

Mengambil tempat di sebuah kota kecil di Kanada, dengan hamparan putih salju yang mendominasi lanskapnya dan langit kelabu yang menggantung di cakrawala, kita langsung dibawa menuju suasana terpencil dan, sedihnya, penuh kemuraman. Sebuah kecelakaan tragis baru saja terjadi. Kecelakaan itu merenggut nyawa hampir semua anak kecil di kota itu kecuali seorang, tapi korban sesungguhnya dari tragedi itu adalah mereka yang selamat dan para orangtua yang kehilangan. Ya, eksplorasi kedukaan orang-orang yang ditinggalkan adalah motif utama film ini. Bagaimana mengatasi kehilangan dan emosi yang muncul sebagai bentuk ekspresi kedukaan bermacam-macam. Ada yang menuangkannya dalam bentuk kemarahan, sebagian putus asa, sebagian lagi menyalahkan diri sendiri.

Adegan dibuka dengan sangat sublim. Sebuah keluarga – ayah, ibu dan bayi mereka – tertidur di lantai. Kamera melihat dari atas bentuk paling sederhana dari keintiman kehidupan privat itu, dan menempatkan penonton dalam kerangka sebagai seorang pengganggu. Tapi kemudian, sosok pengganggu itu diwujudkan dalam bentuk seorang pengacara, Mitchel Stephens (Ian Holm), yang datang ke kota itu untuk membujuk para orangtua agar mengajukan tuntutan hukum kepada pihak-pihak yang disinyalir, secara langsung maupun tidak, menyebabkan terjadinya kecelakaan itu. Pada awalnya terkesan dia adalah sosok yang dingin, dan semata datang sebagai seorang, katakanlah, pengambil keuntungan dari kemalangan orang lain. Meskipun di awal-awal disajikan percakapannya dengan putri satu-satunya yang bermasalah, barulah sepanjang film kita mengetahui bahwa uang bukanlah tujuan utamanya. Melalui sorot matanya, kita bisa tahu dilema yang dihadapinya, dan semacam perasaan kehilangan yang sama seperti yang dirasakan oleh para orangtua yang anak-anaknya meninggal dalam kecelakaan itu. Usaha untuk mengajukan tuntutan itu bisa dipandang sebagai sebuah “penebusan” atau, setidaknya, sebuah cara untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Kunci dari kasus ini adalah kesaksian korban yang selamat, si remaja Nicole Burnell, yang diperankan dengan sangat menawan oleh Sarah Polley. Kecelakaan itu tidak hanya merenggut kemampuannya berjalan tetapi juga masa depannya. Sebelum terjadinya kecelakaan, masa depan gemilang seperti sudah menantinya. Tapi dalam sekejap saja, tiba-tiba dia seolah kehilangan segalanya, termasuk “kasih sayang” ayahnya yang berlebihan. Kecewa dan putus asa, tapi apa yang bisa dilakukannya? Pada titik tertentu, dia akhirnya mengambil jalan seperti tokoh dongeng anak-anak dalam cerita yang pernah diceritakan olehnya sekaligus mengingkari janjinya sendiri untuk tak berkata bohong.

Dengan narasi yang disampaikan secara mozaik namun tak membingungkan (salah satu kelebihan film ini), Egoyan membawa kita mengarungi sisi psikologis manusia di tengah duka. Kita melihat bagaimana hancurnya perasaan Dolores, sang sopir bus, saat menyadari semua anak-anak itu bagaikan anak-anaknya sendiri yang tak dimilikinya. Atau bagaimana melanjutkan hidup setelah segala yang dimiliki menghilang. Bagi Nicole, melakukan sebuah aksi balas dendam yang manis, tapi sekaligus menyakitkan. Dan bagi Billy Ansel, yang kehilangan dua anak kembarnya, itu sama artinya dengan stagnasi, dan yang bisa dilakukannya hanyalah mempertahankan masa lalu. Baginya, masa depan itu sudah tak ada. Karena itu, tuntutan class action itu tak diperlukan dan sang pengacara dianggap sebagai seorang pengganggu saja. Jika tuntutan itu terealisasi, dia sadar bahwa relasi di antara masyarakat akan berubah. Tapi meskipun tuntutan itu gagal, kita semua tahu bahwa pada akhirnya perubahan itu tetap tak bisa dihindari.

2 comments:

  1. memang keren banget ini film, moodnya tenang tetapi mematikan. salah satu karya terbaik Egoyan!

    ReplyDelete
  2. narasinya juga mematikan, acak tapi tak membingungkan hihihi...

    ReplyDelete

 

Kala Ireng Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates